Jumat, 03 Januari 2014

Bab 7 RAGA OBONG



Anak kecil itu masih belum tertidur. Panas tubuhnya tidak kunjung turun sejak  sore tadi. Ibunya memandang dengan penuh iba, tangannya meletakan kain kompresan di dahi anak kesayangannya itu.
“ Anakku...” ucapnya lirih.
Keadaan anaknya yang seperti inilah yang kerap membuatnya merasa membutuhkan sosok seorang lelaki di sampingnya. Sebagai salah seorang anggota keluarga kerajaan mau tidak mau apapun yang ia lakukan akan menjadi pembicaraan rakyat. Perlahan wanita itu mengusap kepala anaknya.
Pikirannya menerawang ke masa lalu. Tak satupun lelaki pernah menyentuhnya hingga pada suatu hari ia mual-mual. Semula ia menyangka hanya masuk angin biasa, namun tabib kerajaan justru bersikeras dirinya hamil. Sesaat pandangan para anggota lain seakan menghakiminya. Sebuah aib besar untuk keluarga kerajaan ketika salah satu anggota keluarganya hamil tanpa pernikahan.
            “ Kau tahu kan mesti berbuat apa?” ucap ibu suri.
            Sang tabib kerajaan mengangguk pelan,” Tak ada satu perkataan pun akan keluar dari mulut hamba tentang hal ini.”
            “ Kau boleh pergi sekarang.” Sabda Dewa berujar pendek. Sesaat hanya keheningan menggantung di ruangan itu setelah kepergian sang tabib.
            Ibu suri menggeleng pelan tak percaya dengan kenyataan yang dihadapi.  Sang Mahapatih terpekur di sisi lain. Nilam Cahya dan Welas Ningra saling bertatapan seolah saling bertanya apa yang selanjutnya harus dilakukan.
            “ Ananda bersumpah tidak ada satu pun lelaki yang pernah menyentuh ananda, ibunda...”  air mata mengalir deras di kedua pipi Pandan Wangi.
            “ Tapi bagaimana mungkin semua ini terjadi kalau tidak ada penyebabnya? “ ucap Cita Resmi - sang ibu suri – lirih.
“ Ibunda tidak percaya pada ananda?”
Cita Resmi menggeleng pelan. Kenyataan yang dihadapinya sekarang benar-benar menjadi beban. Namun semua yang terjadi memang benar-benar tidak bisa dipahami. Hampir seluruh waktunya dihabiskan dengan anak gadis satu-satunya itu.
“ Iya ananda. Ibunda juga tidak habis pikir bagaimana semua ini dapat terjadi. Ananda nyaris setiap waktu dengan ibunda. Kecuali jika ananda menyelinap tanpa sepengetahuan ibunda.”
Pandan Wangi tersentak kaget. Seluruh hidupnya dihabiskan di Keputrian. Bahkan terlintas dalam benaknya pun hal itu tidak.
“ Ibunda?”
“ Ibunda tidak bermaksud menuduh. Hanya memikirkan kemungkinan yang terjadi. Mahapatih kau mau urun pendapat?”
“ Hamba percaya sepenuhnya apa yang dikatakan ananda Pandan Wangi. Sejumlah prajurit kepercayaan hamba tempatkan di sekeliling istana. Termasuk di Keputrian. Rasanya mustahil Sang Putri dapat menyelinap keluar tanpa sepengetahuan mereka.”
“ Jadi apa yang seharusnya kita lakukan pamanda?” Sabda Dewa berujar.
“ Masalah pelik. Ada beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi. Hal yang ibu suri sampaikan adalah salah satunya. Tapi bisa juga laki-laki durjana itu yang menyelinap ke keputrian. Tapi hal ini pun kecil kemungkinannya....”
Keheningan kembali menggantung.
“ Jika tidak ada penyelesaian yang masuk akal, bagaimana kalau kita tanyakan hal ini pada kaum Hallaan?” ucap Sabda Dewa memecah kesunyian. Anggukan serentak dari orang-orang yang ada di ruangan itu pertanda kesetujuan.
Mahapatih Balung beranjak dari tempat duduknya.
“ Akan pamanda perintahkan seorang prajurit untuk memanggil tetua kaum Hallaan untuk kesini.”
Tak berapa lama kemudian Panglima Balung telah kembali dengan seorang lelaki tua berjubah putih dengan penutup kepala berbentuk tabung di kepalanya.
“ Pamanda tetua bagaimana pendapat pamanda tentang hal ini?” ucap Sabda Dewa  mengakhiri ceritanya.
Tetua Kaum Hallaan mengangguk pelan. Tangan kanannya mengusap pelan janggut putihnya.Tatapannya tertuju tajam pada Pandan Wangi. Pandan Wangi membalas. Ia tahu makna tatapan itu. Dalam tatapannya Pandan Wangi mencoba memberi keyakinan pada sang tetua bahwa dirinya tidak bersalah.
            “ Raga Obong .”  
            Seketika keterkejutan melanda para keluarga kerajaan yang ada di ruangan itu. Ucapan pendek dari Sang Tetua terdengar bagai petir di siang bolong. Raga Obong, sebuah ritual kuno untuk pembuktikan kesucian seorang wanita. Sebuah ritual yang sudah lama tidak pernah dilaksanakan lagi dan seolah hanya sebuah cerita belaka.
            “ Tidak adakah jalan yang lain?” Ibu Suri mengajukan tanya.
Nalurinya sebagai seorang ibu muncul begitu saja. Hati ibu mana yang tega melihat anaknya harus berjalan dalam kobaran api.
            “ Maafkan hamba ibu suri. Tidak ada pilihan lain,  ini adalah  jalan terbaik satu-satunya,”  ucap sang tetua.
            “ Ananda sama sekali tidak keberatan. Tidak ada kebohongan apapun. Kesucian ananda masih terjaga.” Ucap Pandan Wangi penuh ketegasan.
            Kekhawatiran tidak bisa tersembunyikan dari orang-orang yang hadir di situ.
            “ Kalau memang itu cara satu-satunya kapan ritual itu akan kita laksanakan?” Sabda Dewa berucap.
            “ Dua hari lagi bulan purnama akan muncul....”
            “ Tetua dan Mahapatih, aku tugaskan kalian untuk menyiapkan semuanya. Aku pastikan Raga Obong digelar dua hari dari sekarang.” Sabda Dewa bertitah.


* * *

Para penduduk Mandala berkumpul mengelilingi alun – alun kerajaan. Di tengah-tengah tampak tumpukan kayu bakar tertata rapi memanjang dari utara ke selatan. Di sisi utara sebuah tenda terbuka berdiri. Para keluarga kerajaan lengkap hadir. Kecuali Ganda Bara sang raja Kalingga. Semuanya berpakaian selempang putih. Rona kekhawatiran tidak tersembunyikan di wajah tiga wanita cantik yang hadir di sana ; Ibu Suri Cita Resmi, Nilam Cahya dan Welas Ningra. Sabda Dewa dan Mahapatih Balung tampak terlibat pembicaraan serius di barisan paling depan. Di hadapan  mereka tampak Pandan Wangi telah bersiap melakukan ritual. Didampingi dua orang kaum Hallaan. Sejumlah mantra mengalir di udara. Salah seorang Hallaan  mengambil obor yang diikatkan ke sebuah tonggak di dekatnya. Ia beranjak mendekati tumpukan kayu bakar. Sesaat kemudian nyala api meluap-luap membumbung ke angkasa. Dan perlahan api merayap ke ujung yang lain.
“ Kau sudah siap  paduka Puteri?” sang tetua Hallaan berucap.
” Saya siap. “
Tak terdengar keraguan sedikitpun dari kalimat yang terlontar dari bibir Pandan Wangi. Orang-orang menarik napas. Larut dalam ketegangan.
Satu kaki Pandan Wangi menapak ke arah api yang menjilat-jilat. Desahan tertahan terdengar dari arah orang-orang yang menyaksikan. Namun sesuatu yang luar biasa terhampar di hadapan mereka. Wanita cantik itu melangkah perlahan tapi pasti di tumpukan kayu yang terbakar. Api yang menjilat-jilat seolah tidak mampu menyentuh tubuh sang gadis.

***

 Pandan Wangi mengusap lembut kepala anaknya. Rasa sayangnya terhadap buah hatinya ini tidak tertandingi oleh apapun.
“ Anakku tak seorang pun termasuk ibunda yang tahu siapa ayahandamu. Namun satu keyakinan ibunda ini adalah pertanda bahwa kau bukanlah orang sembarangan. Di masa yang akan datang kau akan jadi orang penting. Bahkan mungkin menggantikan pamandamu menjadi Maharaja di Cakra Buana. Dan akan ibunda pastikan semua itu akan terwujud. Kau harus menjadi raja Cakra Buana suatu hari kelak.”
Pandan Wangi memandangi wajah lugu anak satu-satunya itu. Tekadnya begitu kuat untuk menjadikan anknya sebagai penguasa Cakra Buana. Perlahan ia mengusap dahi anak lelakinya itu. Sebuah tanda lahir terukir jelas di situ. Sebuah simbol yang ia artikan sebuah simbol yang mewakili api. Ia yakin ada Dewa yang turun tangan dalam hal ini. Yang menjadikan dirinya bisa mengandung dengan sendirinya, tanpa seorang lelaki pun yang pernah menyentuhnya.
“ Suatu saat kau harus jadi raja Cakra Buana,” ia menggumam.