Anak kecil itu masih belum tertidur. Panas tubuhnya tidak
kunjung turun sejak sore tadi. Ibunya
memandang dengan penuh iba, tangannya meletakan kain kompresan di dahi anak
kesayangannya itu.
“ Anakku...” ucapnya lirih.
Keadaan anaknya yang seperti inilah yang kerap membuatnya
merasa membutuhkan sosok seorang lelaki di sampingnya. Sebagai salah seorang
anggota keluarga kerajaan mau tidak mau apapun yang ia lakukan akan menjadi
pembicaraan rakyat. Perlahan wanita itu mengusap kepala anaknya.
Pikirannya menerawang ke masa lalu. Tak satupun lelaki
pernah menyentuhnya hingga pada suatu hari ia mual-mual. Semula ia menyangka
hanya masuk angin biasa, namun tabib kerajaan justru bersikeras dirinya hamil.
Sesaat pandangan para anggota lain seakan menghakiminya. Sebuah aib besar untuk
keluarga kerajaan ketika salah satu anggota keluarganya hamil tanpa pernikahan.
“ Kau tahu kan mesti berbuat apa?”
ucap ibu suri.
Sang tabib kerajaan mengangguk
pelan,” Tak ada satu perkataan pun akan keluar dari mulut hamba tentang hal
ini.”
“ Kau boleh pergi sekarang.” Sabda
Dewa berujar pendek. Sesaat hanya keheningan menggantung di ruangan itu setelah
kepergian sang tabib.
Ibu suri menggeleng pelan tak
percaya dengan kenyataan yang dihadapi. Sang
Mahapatih terpekur di sisi lain. Nilam Cahya dan Welas Ningra saling bertatapan
seolah saling bertanya apa yang selanjutnya harus dilakukan.
“ Ananda bersumpah tidak ada satu
pun lelaki yang pernah menyentuh ananda, ibunda...” air mata mengalir deras di kedua pipi Pandan
Wangi.
“ Tapi bagaimana mungkin semua ini
terjadi kalau tidak ada penyebabnya? “ ucap Cita Resmi - sang ibu suri – lirih.
“ Ibunda tidak percaya pada ananda?”
Cita Resmi menggeleng pelan. Kenyataan yang dihadapinya
sekarang benar-benar menjadi beban. Namun semua yang terjadi memang benar-benar
tidak bisa dipahami. Hampir seluruh waktunya dihabiskan dengan anak gadis
satu-satunya itu.
“ Iya ananda. Ibunda juga tidak habis pikir bagaimana semua
ini dapat terjadi. Ananda nyaris setiap waktu dengan ibunda. Kecuali jika
ananda menyelinap tanpa sepengetahuan ibunda.”
Pandan Wangi tersentak kaget. Seluruh hidupnya dihabiskan di
Keputrian. Bahkan terlintas dalam benaknya pun hal itu tidak.
“ Ibunda?”
“ Ibunda tidak bermaksud menuduh. Hanya memikirkan
kemungkinan yang terjadi. Mahapatih kau mau urun pendapat?”
“ Hamba percaya sepenuhnya apa yang dikatakan ananda Pandan
Wangi. Sejumlah prajurit kepercayaan hamba tempatkan di sekeliling istana.
Termasuk di Keputrian. Rasanya mustahil Sang Putri dapat menyelinap keluar
tanpa sepengetahuan mereka.”
“ Jadi apa yang seharusnya kita lakukan pamanda?” Sabda Dewa
berujar.
“ Masalah pelik. Ada beberapa kemungkinan yang bisa saja
terjadi. Hal yang ibu suri sampaikan adalah salah satunya. Tapi bisa juga
laki-laki durjana itu yang menyelinap ke keputrian. Tapi hal ini pun kecil
kemungkinannya....”
Keheningan kembali menggantung.
“ Jika tidak ada penyelesaian yang masuk akal, bagaimana
kalau kita tanyakan hal ini pada kaum Hallaan?” ucap Sabda Dewa memecah
kesunyian. Anggukan serentak dari orang-orang yang ada di ruangan itu pertanda
kesetujuan.
Mahapatih Balung beranjak dari tempat duduknya.
“ Akan pamanda perintahkan seorang prajurit untuk memanggil
tetua kaum Hallaan untuk kesini.”
Tak berapa lama kemudian Panglima Balung telah kembali
dengan seorang lelaki tua berjubah putih dengan penutup kepala berbentuk tabung
di kepalanya.
“ Pamanda tetua bagaimana pendapat pamanda tentang hal ini?”
ucap Sabda Dewa mengakhiri ceritanya.
Tetua Kaum Hallaan mengangguk pelan. Tangan kanannya
mengusap pelan janggut putihnya.Tatapannya tertuju tajam pada Pandan Wangi.
Pandan Wangi membalas. Ia tahu makna tatapan itu. Dalam tatapannya Pandan Wangi
mencoba memberi keyakinan pada sang tetua bahwa dirinya tidak bersalah.
“ Raga Obong .”
Seketika keterkejutan melanda para
keluarga kerajaan yang ada di ruangan itu. Ucapan pendek dari Sang Tetua
terdengar bagai petir di siang bolong. Raga Obong, sebuah ritual kuno untuk
pembuktikan kesucian seorang wanita. Sebuah ritual yang sudah lama tidak pernah
dilaksanakan lagi dan seolah hanya sebuah cerita belaka.
“ Tidak adakah jalan yang lain?” Ibu
Suri mengajukan tanya.
Nalurinya sebagai seorang ibu muncul begitu saja. Hati ibu
mana yang tega melihat anaknya harus berjalan dalam kobaran api.
“ Maafkan hamba ibu suri. Tidak ada
pilihan lain, ini adalah jalan terbaik satu-satunya,” ucap sang tetua.
“ Ananda sama sekali tidak
keberatan. Tidak ada kebohongan apapun. Kesucian ananda masih terjaga.” Ucap
Pandan Wangi penuh ketegasan.
Kekhawatiran tidak bisa
tersembunyikan dari orang-orang yang hadir di situ.
“ Kalau memang itu cara satu-satunya
kapan ritual itu akan kita laksanakan?” Sabda Dewa berucap.
“ Dua hari lagi bulan purnama akan
muncul....”
“ Tetua dan Mahapatih, aku tugaskan
kalian untuk menyiapkan semuanya. Aku pastikan Raga Obong digelar dua hari dari
sekarang.” Sabda Dewa bertitah.
*
* *
Para penduduk Mandala berkumpul mengelilingi alun – alun
kerajaan. Di tengah-tengah tampak tumpukan kayu bakar tertata rapi memanjang
dari utara ke selatan. Di sisi utara sebuah tenda terbuka berdiri. Para
keluarga kerajaan lengkap hadir. Kecuali Ganda Bara sang raja Kalingga.
Semuanya berpakaian selempang putih. Rona kekhawatiran tidak tersembunyikan di
wajah tiga wanita cantik yang hadir di sana ; Ibu Suri Cita Resmi, Nilam Cahya
dan Welas Ningra. Sabda Dewa dan Mahapatih Balung tampak terlibat pembicaraan
serius di barisan paling depan. Di hadapan mereka tampak Pandan Wangi telah bersiap
melakukan ritual. Didampingi dua orang kaum Hallaan. Sejumlah mantra mengalir
di udara. Salah seorang Hallaan
mengambil obor yang diikatkan ke sebuah tonggak di dekatnya. Ia beranjak
mendekati tumpukan kayu bakar. Sesaat kemudian nyala api meluap-luap membumbung
ke angkasa. Dan perlahan api merayap ke ujung yang lain.
“ Kau sudah siap
paduka Puteri?” sang tetua Hallaan berucap.
” Saya siap. “
Tak terdengar keraguan sedikitpun dari kalimat yang
terlontar dari bibir Pandan Wangi. Orang-orang menarik napas. Larut dalam
ketegangan.
Satu kaki Pandan Wangi menapak ke arah api yang
menjilat-jilat. Desahan tertahan terdengar dari arah orang-orang yang
menyaksikan. Namun sesuatu yang luar biasa terhampar di hadapan mereka. Wanita
cantik itu melangkah perlahan tapi pasti di tumpukan kayu yang terbakar. Api
yang menjilat-jilat seolah tidak mampu menyentuh tubuh sang gadis.
***
Pandan Wangi mengusap
lembut kepala anaknya. Rasa sayangnya terhadap buah hatinya ini tidak
tertandingi oleh apapun.
“ Anakku tak seorang pun termasuk ibunda yang tahu siapa
ayahandamu. Namun satu keyakinan ibunda ini adalah pertanda bahwa kau bukanlah
orang sembarangan. Di masa yang akan datang kau akan jadi orang penting. Bahkan
mungkin menggantikan pamandamu menjadi Maharaja di Cakra Buana. Dan akan ibunda
pastikan semua itu akan terwujud. Kau harus menjadi raja Cakra Buana suatu hari
kelak.”
Pandan Wangi memandangi wajah lugu anak satu-satunya itu.
Tekadnya begitu kuat untuk menjadikan anknya sebagai penguasa Cakra Buana.
Perlahan ia mengusap dahi anak lelakinya itu. Sebuah tanda lahir terukir jelas
di situ. Sebuah simbol yang ia artikan sebuah simbol yang mewakili api. Ia
yakin ada Dewa yang turun tangan dalam hal ini. Yang menjadikan dirinya bisa
mengandung dengan sendirinya, tanpa seorang lelaki pun yang pernah
menyentuhnya.
“ Suatu saat kau harus jadi raja Cakra Buana,” ia menggumam.