Kamis, 28 November 2013

BAB 1 Bibit Perpecahan


           
   Anak muda bertubuh tegap itu memacu kudanya. Kedua kakinya mengepit kencang perut tunggangannya. Tubuhnya tegak dengan kedua tangan merentang busur. Sebatang anak panah terpasang di ujungnya. Seekor rusa jantan besar berlari kencang melompati sebatang pohon tumbang. Anak muda itu melepaskan anak panahnya.
            “ Blass…”
            Suara mendesing nyaring terdengar saat anak panah itu melesat deras.
“ Crass...”
            Tubuh rusa terhenti di udara, ambruk ke tanah dan terkapar .  
            Dari belakang terdengar ringkik kuda, tiga orang mendekat. Dua orang dengan sigap turun dari kudanya masing-masing. Salah seorang dengan sigap mengeluarkan sebilah pisau dan menggorok leher rusa dan menaikannya ke atas kuda miliknya.
            “ Hasil yang tidak terlalu buruk bukan?” ucap anak muda yang tadi membidik.
            “ Iya paduka,” jawab orang yang ada di sebelahnya dengan sikap hormat dari atas kuda tunggangannya
            “ Kita pulang, sepertinya nanti malam kita bisa makan besar. Tiga ekor rusa ini aku rasa cukup untuk seluruh penghuni istana.” Ucap anak muda itu, sudut matanya melirik hasil buruannya.
Anak muda itu menarik tali kekang, berbalik arah dan menggebrak tunggangannya. Tiga orang yang menyertainya melakukan hal serupa, mengekor dari belakang.
            Hanya sepeminuman teh, mereka berempat telah memasuki gerbang komplek istana. Seorang prajurit dengan sigap memegang tali kekang kuda sang raja.
            “ Maaf paduka, Mahapatih kerajaan menunggu paduka di sana.” Ucap sang prajurit, ujung ibu jarinya tertuju ke arah di mana seorang lelaki setengah baya sedang berdiri.
            “ Ada apa?” tanya anak muda itu sambil melompat dari punggung tunggangannya.
            “ Hamba kurang tahu paduka “
            Penguasa Cakra Buana itu mengibaskan tangannya pelan sebagai isyarat untuk menyuruh pergi. Prajurit itu menghormat dan menuntun kuda hitam itu ke arah istal. Beberapa temannya mengikuti dari belakang menuntun tiga ekor kuda yang lain.
            “Kalian juga boleh pergi. Terimakasih kalian telah ikut dalam  perburuanku kali ini.”
            Tiga orang di hadapannya menjura hormat dan berlalu dari tempat itu. Sang Maharaja melangkah ke arah lelaki yang kini tersenyum ke arahnya.
            “ Paduka..” lelaki setengah baya itu menjura hormat, namun dengan cepat anak muda itu merengkuh bahu lelaki itu.
            “ Tidak usah bersikap resmi pamanda, di sini hanya ada kita. Ananda tetap keponakanmu kan pamanda?” sesaat keduanya saling berpelukan.
            “ Bagaimana kabar keluarga? Bibi dan terutama Taksaka. Sudah lama rasanya saya tidak berjumpa dengan bocah itu.”
            “ Berkat perlindungan dari sang Mahabijak mereka dalam keadaan baik paduka.”
            “ Ananda. Biasanya pamanda menyebut itu padaku jika kita hanya berdua.”
            “ Iya ananda.” Ucap lelaki setengah baya itu sambil menatap anak kakak iparnya itu.
            “ Ada hal penting sepertinya?”
            “ Betul sekali anakku Sabda Dewa ada hal penting yang ingin pamanda bicarakan denganmu. Masalah keutuhan kerajaan kita...”
            “ Maksud pamanda?” ucap Sabda Dewa sambil menoleh, kakinya perlahan melangkah.
Keduanya berjalan melintasi alun-alun kerajaan. Sebuah tanah lapang yang memisahkan dua bangunan besar di sisi-sisinya. Istana kerajaan di sisi selatan menjulang megah dengan puncak-puncak atap emasnya yang meruncing. Di sisi utara berdiri bangunan berbentuk kubah raksasa, kuil Mahadewa Halla. Berkilau keperakan  tertimpa cahaya matahari sore.
            Empat patung raksasa berdiri sejajar di sisi barat alun-alun. Sesaat pikiran Sabda Dewa terusik saat pandangan matanya membentur sosok-sosok itu. Empat patung itu adalah patung para raja pendahulunya.
Patung pertama adalah patung Jagat Agung. Bergelar Sang Penakluk,inilah leluhur pertamanya. Seorang raja yang berhasil menyatukan seluruh penghuni Arcapada dalam sebuah kerajaan yang dibangunnya, Kerajaan Cakra Buana. Wajahnya memancarkan kewibawaan. Kedua tangannya bertumpu pada sebatang pedang yang tertancap di tanah. Lambang bahwa dirinyalah yang telah mempersatukan seluruh daratan Arcapada. Usianya konon mencapai 1000 tahun. Usia panjang yang merupakan anugrah dari Dewa Mahabijak karena ia telah berhasil mempersatukan seluruh daratan Arcapada.
Patung batu kedua, patung raja berikutnya. Raja Genta Bumi bergelar Sang Pemakmur. Kebijaksanaan terpancar jelas di wajahnya. Di tangannya tergenggam padi dan kapas yang menandakan bahwa di bawah kepemimpinanya, rakyat dapat menikmati kemakmuran. Sandang, pangan dan papan bukan hal yang sulit untuk didapat. Kesejahteraan benar-benar dapat dinikmati oleh segenap rakyat dari segala lapisan..
Raksa Jagat, Sang Pencerah adalah patung berikutnya. Tangan patung ini menggenggam gulungan lontar, kakinya menginjak kepala seekor makhluk yang Sabda Dewa pun tidak mengetahuinya. Di bawah pemerintahannya kepercayaan pada sang Mahabijak berkembang pesat. Bahkan bangunan megah - tempat pusat penyembahan pada Sang Mahabijak - di sisi utara didirikan di bawah pemerintahannya. Budaya tulis menulis pun dimulai pada zaman kekuasaannya..
Patung terakhir Darma Guna Sang Pengadil. Tangannya memegang timbangan. Di bawah pemerintahannya hukum benar-benar ditegakkan. Sejumlah hukum dituangkan dalam bentuk lembaran-lembaran lontar.  Namun ayahandanya ini tidak diketahui apakah masih hidup ataukah tidak. Sabda Dewa naik tahtapun disebabkan oleh  ayahandanya yang tiba-tiba menghilang, seolah lenyap begitu saja.
Di sebelah kanan patung itu sebuah landasan berbentuk segitiga terhampar. Sampai detik ini pun Sabda Dewa tidak pernah tahu apa makna segitiga itu. Tapi yang pasti kelak landasan itu untuk patung dirinya jika sudah mangkat.
“ Kau mendengarkanku kan ananda?” suara lelaki di sebelahnya seketika membuyarkan lamunannya.
“ Maaf pamanda...” Sabda Dewa menggeleng .
“ Apa yang jadi bahan pikiran Ananda? Dari tadi pamanda sudah bicara panjang lebar,” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
“ Tidak ada pamanda. Tiba-tiba saja tadi terbersit di benak ananda tentang segitiga ini. Ananda cuma tidak pernah bisa mengerti makna segitiga ini,” ucap Sabda Dewa sambil menunjuk landasan segitiga yang kini ada di dekatnya.
“Pamanda pikir ada hubungannya dengan kehidupan ananda kelak."
Sejenak keduanya larut dalam pikiran masing-masing, namun rupanya sang Mahapatih segera menyadari maksud kedatangannya.
“ Kembali ke masalah tadi. Seperti yang ananda tanyakan, keutuhan kerajaan kita sedang terancam. Dua kerajaan bawahan kita – dari telik sandi yang pamanda tugaskan- menunjukan tanda-tanda akan memberontak”
Sabda Dewa sesaat tersentak.
“ Rasanya ananda sudah mencoba bersikap adil, yang pamanda maksud kerajaan mana? Nishada dan Kalingga?”
“ Begitulah.”
“ Pamanda yakin dengan informasi yang sampai ke telinga pamanda?”
“ Tidak ada keraguan sedikitpun. Telik sandi yang pamanda kirim adalah orang kepercayaan pamanda.”
Sabda Dewa menggeleng pelan.
“ Apa saya telah salah dalam bersikap pamanda? Apakah salah menetapkan pajak lebih tinggi di dua negeri itu?”
Mereka berdua tiba di depan istana, perlahan langkah mereka meniti tangga-tangga istana.
“ Tentu saja tidak ananda, dua kerajaan itu mempunyai tingkat ekonomi yang lebih tinggi dibanding Maganda dan Sinhala. Jadi pamanda rasa wajar saja pajak lebih tinggi diterapkan di sana. Masalah utamanya bukanlah pajak yang tinggi atau rendah tapi nafsu akan kekuasaan. “
“ Pamanda punya jalan keluar untuk mengatasinya?”
“ Keputusan sepenuhnya tentu saja ada di tangan ananda. Pamanda tidak berani...”
Satu ruangan besar berlantai pualam menyambut mereka. Permadani beludru merah terhampar, meja kayu panjang berada di atasnya. Di ujung permadani lantai tangga berundak ke arah singgasana.
Sabda Dewa mengambil tempat duduk di ujung permadani yang lebih dekat dengannya. Duduk bersila. Lelaki yang menyertainya hanya menggeleng pelan melihat tingkah keponakannya. Bukannya duduk di singgasana malah justru bersikap seperti abdi. 
Anak muda yang kadang tidak mau terjebak dalam tatakrama. Tindakannya kadang tidak terduga dan lebih cenderung mengedepankan jiwa mudanya. Namun dibawah pemerintahan keponakannya inilah Cakra Buana mengalami kemajuan demikian pesat dalam segala hal. Ide-ide gila yang kadang muncul ternyata berbuah kemakmuran bagi negeri. Seperti kebijakannya dalam hal pajak.
Sudah ratusan tahun pajak dengan jumlah yang sama diterapkan di empat kerajaan bawahan;  Kalingga, Nishada, Maganda dan Sinhala. Namun di bawah pemerintahannya jumlah pajak dan upeti yang harus di serahkan ke Mandala – ibukota kerajaan – menjadi berbeda-beda. Penduduk Kalingga di timur, yang penduduknya kebanyakan adalah penambang dan Nishada di sebelah utara yang kebanyakan hidup dengan menjadi pedagang, pembuat perkakas pertanian dan senjata jelas mempunyai penghasilan yang jauh melebihi saudara-saudaranya ditetapkan pajak yang lebih tinggi. Maganda di sebelah selatan yang penduduknya kebanyakan pemburu dan petani dan  Sinhala di sisi barat yang penduduknya kebanyakan hidup sebagai nelayan – yang jelas kalah jauh dari segi ekonomi- mempunyai pajak yang lebih rendah.
Lelaki itu mengambil tempat duduk tidak jauh dari Sabda Dewa.
“ Pamanda,  ananda utus untuk menemui kedua raja di kerajan-kerajaan itu. Peringatkan mereka  untuk tidak bertindak bodoh. Sampaikan pada mereka, Mandala tidak akan segan – segan untuk bersikap keras jika diperlukan. Apabila jalan diplomasi tidak berhasil, ananda beri kekuasaan penuh pada pamanda untuk menumpas para pemberontak itu.” ucap Sabda Dewa dingin. Kemarahan sesaat hampir mengusainya. Kalau menuruti hawa nafsu ingin rasanya ia membumihanguskan dua kerajaan itu.
“ Jika itu yang ananda perintahkan akan segera pamanda laksanakan. Pamanda pamit paduka...” lelaki itu menjura hormat dan berlalu dari tempat itu. Sesaat Sabda Dewa menghela nafas.
“ Ada apa pamandamu ke sini ananda?”
Satu suara lembut menyapa dari belakang.
Sabda Dewa membalikan badan, seorang wanita anggun berdiri di hadapannya. Garis-garis tua di wajahnya tidak  bisa menyembunyikan kecantikan yang dimilikinya di masa lalu.
“Ibunda...” Sabda Dewa menjura hormat namun cepat dipeluk oleh wanita itu.
“ Kau belum menjawab pertanyaanku anak muda...” ucap wanita itu, senyum terukir di sudut-sudut bibirnya.
“ Tidak ada hal yang istimewa ibunda. Hanya laporan rutin tentang keamanan kerajaan.”
Sabda Dewa berusaha menutupi. Walau bagaimana pun informasi yang di sampaikan oleh pamanda sekaligus Mahapatihnya itu masih bersifat rahasia. Lebih sedikit orang yang tahu akan lebih baik. Di samping itu, ia juga ingin menjaga perasaan ibundanya.  Ganda Bara raja kerajaan Kalingga walau bagaimana pun masih pamandanya. Istrinya – Welas Ningra- adalah adik ibundanya.
“ Kau tidak pandai berbohong anak muda apalagi di depan ibumu ini...,” wanita itu lagi-lagi tersenyum. “
“ Iya ibunda... “ hampir saja sabda Dewa tergoda untuk membicarakan hal yang sebenarnya terjadi, siapa tahu ibundanya ini memmpunyai jalan keluar dari maslah yang sekarang dihadapinya. Namun sebelum ia berkata, ibundanya telah bicara lebih dahulu
 “Mudah-mudahan bukan hal yang buruk. Ananda mau bersantap di rumahku?”
“ Tentu saja ibunda, ananda juga kebetulan sudah rindu dengan masakan ibunda. Terutama sayur asem buatan ibunda.”
“ Ananda bisa saja. Ayo kalau ananda mau.”
Keduanya berjalan ke arah sisi kiri balairung. Sebuah jalan berbatu membelah taman perlahan mereka susuri, mengantarkan mereka ke sebuah rumah berukuran besar. Komplek istana itu memang terdiri dari beberapa bangunan. Selain balairung tempat pertemuan resmi, juga ada beberapa bangunan lain. Dua rumah berdiri di sisi kiri. Rumah ibundanya dan rumah adik ayahandanya, Pandan Wangi. Seorang wanita yang kecantikannya tidak ada yang menandingi di seantero Arcapada. Namun satu rahasia besar meliputi wanita ini. Lintar puteranya yang  sampai kini berusia lima tahunan tidak jelas siapa bapaknya.
Sementara di sisi kanan berdiri rumah Sabda Dewa sendiri. Dikelilingi taman dan tertata indah. Di bagian belakang balairung berdiri dua rumah bibinya, Nilam Cahya. Istri lelaki yang tadi menemuinya, Mahapatih Balung. Sementara yang satunya rumah Welas Ningra. Rumah yang hanya sesekali dihuni, karena Welas Ningra diboyong suaminya ke Kalingga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar