Kamis, 12 Desember 2013

Bab 6 Stempel Dewa



     Murad melangkahkan kakinya. Lorong itu benar-benar gelap seandainya tidak ada obor di tangan kanannya. Temaram cahaya obor sedikit banyak membantu penglihatannya. Ia mendesah berat. Baru saja masuk, satu jebakan hampir saja membuat nyawanya melayang. Ia lolos dari sejumlah tombak yang tiba-tiba saja berdesingan dari dinding batu di  kiri kanannya. 
Namun hal itu tak menyurutkan tekadnya sedikit pun. Ia telah masuk kuil Dewa Silbi dan tentu saja ia tidak mau keluar dengan tangan hampa apalagi hanya tinggal nama. Perlahan langkah demi langkah, ia menyusuri lorong berdebu itu kembali. Bukan karena takut tapi karena sadar tiap langkah, kematian senantiasa mengintai.
            Pada langkah tertentu, ia tersadar pijakannya berbeda. Lantai yang jadi pijakannya tiba-tiba luruh jauh sampai ke depan. Batu-batu runcing menganga di bawahnya. Dengan sigap Murad bergerak. Kedua kakinya melebar, telapak kakinya bertumpu ke dinding di kiri kanannya. Dengan posisi seperti itu, Murad berusaha merayap melewati rintangan. Tidak terlalu jauh, namun posisi seperti itu membuat kakinya menjadi cepat pegal. Tapi ia terus memaksa otot-otot kakinya untuk bekerja. Jika tidak demikian batu-batu runcing di bawahnya tentu saja tak akan segan untuk menyambutnya. Ketika ia sampai ke ujung, kakinya terasa mati rasa. Ia mengibas-kibaskan kakinya.
 Kuil Dewa Silbi, tepat berada di tengah-tengah wilayah Kesultanannya, Kesultanan Cadarian. Kuil ini telah ratusan tahun berdiri. Dan diselang waktu itu, baru dirinyalah yang bisa masuk ke dalamnya. Dari perkamen-perkamen peninggalan raja terdahulu diketahui, bahwa di dalam kuil Dewa Silbi ini terdapat sebuah benda luar biasa. Dan sekarang demi benda itulah ia berjuang mati-matian.
            Saat kakinya terasa sudah kembali seperti sediakala, Murad kembali melanjutkan perjalanannya. Langkah demi langkah. Namun ternyata lorong itu makin mengecil sampai akhirnya hanya merangkak yang bisa dilakukan oleh sang Sultan Cadarian ini. Debu berkepulan saat ia menyeret tubuhnya yang bertumpu pada lutut. Merangkak perlahan sampai akhirnya  ia tiba di ujung lorong. Satu ruangan terang benderang menghampar di hadapannya.
Murad mengejap-kejapkan matanya.
Silau.
Tampak di tengah ruangan - yang rupanya ruangan utama - satu benda kecil di atas tonggak berukuran sebesar paha orang dewasa. Benda kecil itu berkilauan. Rupanya benda itulah yang membuat ruangan itu terang benderang. Penguasa Cadarian itu meloncat memasuki ruangan bertabur cahaya itu. Perlahan ia mendekati tonggak di tengah ruangan. Kewaspadaannya berlipat. Benda yang diinginkannya sudah ada di depan mata. Namun saat melihat semuanya terlalu mudah, kewaspadaan berlipat memenuhi diri Murad . Ia mencoba mengamati detil ruangan itu. Tidak ada yang aneh. Ruangan serba putih itu hanya  mempunyai jalan masuk dan keluar lewat lubang yang baru saja dilaluinya.
Di empat sisi dinding agak ke atas tampak empat patung yang berbeda-beda. Empat patung dewa setahu Murad. Dewa-dewa bawahan Dewa Silbi. Perlahan Murad mendekat ke tengah ruangan. Kekhawatirannya tidak terbukti. Tak ada jebakan apapun sampai akhirnya ia menyentuh benda yang sangat diinginkannya itu. Benda yang bisa membuat pemiliknya mampu mengendalikan makhluk apapun.
Stempel Dewa.
Ia menggenggam benda itu dan menariknya. Benda itu kini telah ada di tangannya. Cahaya di tubuh benda itu meredup dan tak keluar lagi saat benda itu ditarik dari dudukannya. Dari atas terdengar suara berderak, langit-langit ruangan membuka perlahan. Cahaya purnama dengan leluasa menerobos masuk membunuh kegelapan yang sempat terhampar.
Kegembiraan yang amat sangat melingkupi hati sang Sultan. Sehingga ia tidak menyadari bunyi berderit dari dinding –dinding ruangan. Empat patung batu itu perlahan-lahan melepaskan diri dari dinding di belakangnya.
Mereka berempat seolah punya nyawa. Bangkit dan menjejakkan kakinya di lantai ruangan. Saat mereka melangkah, barulah Murad tersadar. Langkah kaki batu mereka menggoncang lantai ruangan. Menimbulkan retakan-retakan kecil di lantai pualam.
Murad tersentak. Walau bagaimana pun mustahil mengalahkan empat patung batu sekaligus. Apalagi terlihat patung batu itu demikian kokoh. Penguasa Cadarian itu mengeluarkan pedang  melengkungnya..
“ Trang...!!!”
Percikan bunga api menyembur saat pedang melengkung Murad menghantam tubuh batu sang Dewa. Tangan Murad bergetar hebat. Kesemutan melanda tubuhnya. Tapi tak sedikit pun makhluk itu bergeming.
Murad berkelit saat tangan makhluk itu berusaha menjangkaunya.
Murad kembali mencoba. Ia menghantam kembali makhluk itu dengan pedangnya. Tapi sia-sia makhluk itu tidak terpengaruh sedikitpun.
“ Trang...!!!”
Murad mendengus. Dengan gerakan lincah ia bergerak ke belakang makhluk itu dan berusaha mendorongnya, namun tenaganya bukan tandingan tubuh kokoh itu.
“ Bukk...”
Sebuah pukulan, telak menghantam kepalanya.
Karena fokus pada makhluk yang dihadapinya, Murad melupakan makhluk yang lain.
Dan fatal.
Kepalanya serasa hancur saat satu kepalan tangan patung batu yang lain menghantam.
Darah mengucur dari bibir,hidung dan telinganya. Rasa pusing luar biasa membuatnya terhuyung. Sempoyongan, ia berusaha untuk tetap berdiri. Jika terkapar, ia bisa jadi bulan-bulanan makhluk-makhluk ini.
            Tenaga makhluk itu luar biasa, satu hantamannya saja membuat Murad merasakan kematian tinggal sejengkal lagi menjemputnya. Namun Murad bertahan, ia tidak mau menyerah. Usahanya selama ini hanya akan berakhir sia-sia jika ia terkapar tewas di ruangan ini. Murad mengumpulkan segenap kekuatannya.
            Namun!
            “Argh....”
            Leher Murad sesaat kemudian sudah ada di genggaman makhluk batu itu. Pedang melengkung di genggamannya terjatuh.
Kematian.
Kematian.
Murad merasakan ajalnya sudah di depan mata. Namun ia masih sempat berpikir jernih.
Stempel Dewa!
Ia menggenggam benda sakti itu, dan menghantamkannya tepat di dahi makhluk batu itu.
Detik itu juga gerakan makhluk itu terhenti.
“ Lepaskan ana!”
Makhluk itu melepaskan genggamannya.
Murad terhempas ke lantai.
Tiga patung batu mendekat.
“ Lindungi ana!” perintah Murad.
Patung batu yang telah terkena stempel di dahinya bergerak menghadang. Murad menarik napas. Ia berusaha memulihkan kondisinya.
Empat makhluk itu bertarung. Setiap ada patung batu yang berusaha mendekat ke arah Murad, patung batu yang sudah dicap dengan sigap menghadang. Saat Murad merasakan kepalanya sudah tidak terlalu bermasalah, ia mencari celah untuk memberi tanda pada patung batu yang lain. Dan kesempatan itu muncul saat salah satu patung batu terkapar dihantam patung batu yang sudah dicap. Murad melompat dan mendarat di lantai batu tepat di dekat kepala patung batu itu.
“ Clapp..”
Satu tanda terukir di dahi makhluk itu.
“ Lindungi ana,” perintahnya kembali.
Beberapa lama kemudian dua yang lainnya pun sudah berada dalam pengaruh stempel Dewa. Murad bernapas lega, terbayang perjalanan untuk keluar tidak akan seberat saat ia masuk.

ana = aku
***
                
                 Beberapa purnama kemudian.
                 Bergerak ke arah timur sepasang manusia itu sudah punya tujuan pasti. Tanah Monstara. Sebuah tempat yang biasanya dihindari manusia. Namun justru tempat itu kini menjadi harapan dari salah satu penunggang Phorusrhacos itu untuk mewujudkan impiannya. Keduanya menggebrak burung tunggangannya. Dua burung padang pasir itu bergerak cepat melintasi padang pasir yang seolah tak berujung. Kemana pun mata memandang yang nampak hanya hamparan pasir.
                 “ Nahnu istirahat di sini dulu Ahmed!”
                 Setelah beberapa lama mereka memacu tunggangannya dalam keheningan ,sosok di sebelah kanan berucap.
                 “ Baik paduka.”
                 Keduanya berhenti di balik bayangan bukit pasir yang baru mereka lewati. Pemuda yang di panggil Ahmed membuka perlengkapan yang tersampir di sisi kiri tunggangannya. Sesaat kemudian sebuah tenda dari kulit unta telah berdiri. Walau tidak begitu kokoh karena hanya bertumpu pada pasir tapi setidaknya tenda itu dapat melindungi dari angin bercampur pasir yang sesekali berhembus.
                 “ Istirahat dulu paduka Sultan,” ucap si pemuda mempersilahkan teman seperjalanannya untuk masuk.
                 “ Terimakasih Ahmed, tidak salah ana memilih anta sebagai tangan kanan ana dan juga sebagai teman seperjalanan ke tanah monstara.”
                 “ Iya paduka. Ini kebanggaan juga bagi hamba bisa menemani paduka. Tapi kalau boleh tahu apa tujuan paduka ke Tanah Monstara. Bukankah justru para makhluk penghuni tanah itulah yang kerap menebar teror pada rakyat nahnu. Kalau bukan karena kemampuan  cenayang Kosem, mungkin rakyat nahnu, Kesultanan nahnu tinggalah cerita saja.”
                 “ Ada satu tujuan besar yang ingin ana capai. Dan tanah Monstara adalah langkah besar untuk mewujudkannya.”
                 “ Baru dua hari perjalanan nahnu, setidaknya nahnu masih harus berjalan tujuh hari lagi untuk sampai tujuan.”
                 “ Makanya ana memilih anta Ahmed. Antalah orang pertama dan satu-satunya dari Kesultanan nahnu yang pernah melintas daratan ini dan pernah ke Tanah Monstara.”
                 “ Tanah Monstara....” Ahmed bergumam pelan. Sebuah daratan yang menurutnya tanah yang luar biasa. Tanah yang sebetulnya menjanjikan. Subur, banyak makanan dan berlimpah air. Namun sayangnya daratan ini juga dihuni makhluk-makhluk mengerikan seperti Troll. Belum lagi Likan dan Drakula.
                 Masih teringat jelas di benaknya saat ia berjuang mati-matian untuk keluar dari daratan itu. Bertarung dengan Likan, bertempur dengan drakula dan melarikan diri dari Troll. Makhluk-makluk yang menjadikan dirinya sebagai salah satu menu makan mereka. Makhluk yang haus daging dan darahnya.
                 “ Luar biasa sebenarnya saat ana tahu anta selamat dari tanah Monstara. Anta benar-benar luar biasa!”
                 “ Hamba hanya beruntung paduka”
                 “ Bukan keberuntungan semata-mata kalau bisa lolos dari tiga makhluk mengerikan. Troll, Likan dan Drakula. Lolos dari satu makhluk itu pun sudah luar biasa apalagi ini dari tiga makhluk itu sekaligus.”
                 “ Paduka terlalu berlebihan...”
                 “ Kerajaan nahnu butuh orang-orang seperti anta...” ucap Sultan Murad sambil menepuk-nepuk bahu kiri anak muda kepercayaannya itu. Burung aneh di bahu kanannya menguik.
                
***
Nahnu = kita atau kami
 
                 Ahmed - anak muda Kesultanan Cadarian-  seorang pemuda yang gemar menjelajah padang pasir. Baginya padang pasir adalah tempat yang menakjubkan sekaligus juga tempat yang dapat menguji ketahanan tubuh.  Seperti beberapa tahun yang lalu, tanpa sengaja ia menemukan sebuah gua. Saat ia mencoba masuk dan menyusuri bagian dalamnya satu rintihan memilukan terdengar di satu sisi. Ia memberanikan diri menghampiri sumber suara.
                 Satu sosok bertubuh besar nampak terduduk lemah bersandar di dinding gua. Satu benda besar menancap di telapak kakinya. Benda itulah rupanya yang membuatnya tidak henti mengeluarkan rintihan. Mata makhluk itu nampak membesar saat melihat kehadiran Ahmed. Sang pemuda gentar juga, ia berniat berbalik arah. Namun sosok itu tampak tersenyum. Namun senyum yang tercipta justru malah membuat makhluk itu makin menakutkan. Empat gigi taring di atas dan bawah bibirnya terlihat mencuat mengerikan. Makhluk itu melambai dan menunjuk-nunjuk telapak kakinya. Sebuah gumaman tak jelas keluar dari mulutnya.
                 Tanpa kata-kata pun Ahmed mengerti makna isyarat itu. Walau penuh keraguan perlahan anak muda itu mendekati sosok besar berkulit hijau itu. Tangannya menggenggam benda yang menancap di telapak kaki makhluk itu. Ahmed mengerahkan tenaganya.
                 “ Clapp...”
                 Sebatang benda runcing tercabut dari telapak kakinya. Makhluk itu menarik  napas lega. Rasa sakitnya jauh berkurang. Ia berdiri dan melompat-lompat. Makhluk itu mengulurkan tangan dan Ahmed menyambutnya. Makhluk itu meletakan tubuh anak muda itu di bahunya.
                 Inilah awal sampai ia berkelana di Tanah Monstara. Beberapa tahun ia hidup bersama Troll yang pintar membalas budi itu. Sampai pada akhirnya Troll-troll yang lain menginginkan dirinya sebagai makanan. Pertarungan yang terjadi membuat Ahmed kehilangan pelindung sekaligus sahabatnya itu. Sejak itu Tanah Monstara menjadi tidak aman lagi untuk dirinya. Ia berusaha untuk keluar dari Tanah Monstara. Namun tidak semudah itu ternyata. Berkali-kali ia harus bertempur dengan makhluk-makhluk mengerikan yang haus darah dan ingin menjadikan dirinya sebagai salah satu menu makan mereka.
                 Pertarungan demi pertarungan dengan berbagai makhluk mengerikan menjadikan dirinya makin tangguh dan memiliki kemampuan bertempur yang luar biasa. Hal inilah yang akhirnya mengantarkan dirinya dekat dengan pusat kekuasaan Kesultanan Cadarian. Sampai akhirnya ia menjadi tangan kanan Sultan Murad
***

                 “ Apa yang harus nahnu lakukan?” Sultan Cadarian bertanya saat keduanya telah memasuki sebuah hutan lebat di sisi timur Cadarian itu.
                 “ Yang paling dekat dari tempat nahnu sekarang ini adalah perkampungan Troll. Di antara ketiga makhluk luar biasa yang ada di daratan ini, merekalah yang paling mudah nahnu taklukan. Walaupun mereka makhluk yang tidak cerdas. Setidaknya kalau nahnu sudah bisa menguasai mereka, mereka bisa menjadi pelindung nahnu.” ucap Ahmed, tangannya menyingkap akar pohon yang tergantung menghalangi jalannya. Keduanya berjalan menyusuri hutan, menyibak semak-semak sampai akhirnya...
                 “ Luar biasa...” ucap Sultan Murad setengah mendesis. Di lembah kecil di hadapannya nampak satu perkampungan luar biasa. Beberapa makhluk-makhluk luar biasa terlihat dengan berbagai macam ukuran. Begitupun warna kulit mereka berbeda satu sama lain.
                 “ Perkampungan Troll...” kembali Sultan Murad mendesis. Keduanya menyembunyikan diri dengan bertelungkup di tanah, namun pandangan mereka tidak terlepas dari perkampungan itu.
                 “ Hati-hati paduka, walau penglihatan mereka buruk mereka mempunyai penciuman yang sangat tajam dibanding nahnu. Untungnya angin membantu nahnu, bertiup ke arah nahnu. sehingga bau nahnu tidak terbawa angin ke perkampungan para Troll itu.”
                 “ Nahnu harus mendekat...”
                 “ Iya paduka...”
                 Keduanya bergerak maju. Menyelinap dari satu pohon ke pohon lain. bahkan beberapa kali harus merebahkan diri karena yang ada hanya semak belukar.
                 Satu sosok Troll tanpa terduga muncul di belakang mereka. Sultan Murad bergerak mengambil stempel Dewa yang tersembunyi di balik pakaiannya. Namun terlambat makhluk itu dengan deras menyerangnya. Tangan besar makhluk itu bergerak ke arah batang leher sang Sultan Cadarian. Ahmed sang pemuda tidak tinggal diam bergerak menghadang. Lututnya terarah deras ke arah perut Troll berkulit kemerahan itu.
                 “ Bukk...”
                 Makhluk itu sesaat mengerang. Kemarahan membuatnya mengalihkan target. Kini anak muda itulah incarannya. Kesempatan itu pun tidak disia-siakan oleh Sultan Murad. Ia melompat dari sisi kiri dan ....
                 “ Clappp....”
                 Satu tanda terukir di dahi makhluk itu. Membuat makhluk itu tidak berdaya. Terdiam menunggu perintah.
                 “ Nahnu berhasil Ahmed. Jalan nahnu akan jauh lebih mudah.” Ucap Sultan Ahmed sambil tersenyum, cadar yang biasa menutupi mukanya terurai ke bawah.
                 “ Perkampungan ini tidak akan terlalu susah untuk ditaklukan paduka Sultan,” ucap Ahmed . Ia pun tersenyum melihat kegembiraan yang terpancar dari orang nomor satu Cadarian itu.
                 “ Bagaimana dengan para Likan dan Drakula?”
                 “ Para Likan ada di padang rumput di sisi selatan. Relatif tidak jauh dari sini. Sepertinya perjuangan nahnu di sana memerlukan usaha yang jauh lebih keras daripada di sini. Para drakula berada di sisi utara, cukup jauh dari sini. Medan yang harus nahnu tempuh pun lumayan berat. Tebing terjal membatasi nahnu dengan kastil di mana mereka tinggal.”
                 “ Bersama anta sepertinya tidak akan ada yang berat,” ucap Sultan Murad. Kepuasan terlukis jelas di wajahnya.
                

Rabu, 11 Desember 2013

Bab 5 Nestapa Sang Raja



Sabda Dewa mengendap-endap, beberapa penjaga berhasil dilewatinya. Kini hanya tanah lapang yang memisahkan dirinya dengan pintu gerbang. Namun inilah masalah terbesarnya. Tak mungkin ia menyeberang tanah lapang di hadapannya tanpa diketahui oleh para pengawal.
Pada saat yang sama dalam kebingungannya,sebuah pedati tanpa muatan lewat di hadapannya. Dengan sigap Sabda Dewa menyelinap ke bawah pedati. Mencengkramkan tangannya ke bagian bawah pedati dan menjejakkan kakinya ke sisi yang lain. Tubuhnya menempel ketat di bagian bawah pedati. Sang kusir pedati pun rupanya tak menyadari ada penumpang gelap di kendaraannya.
Pedati berguncang perlahan menyusuri tanah berdebu. Makin mendekati gerbang, dada Sabda Dewa berdebar. Entah mengapa tiba-tiba terbersit perasaan seolah dirinya penjahat yang berusaha melarikan diri dari penjara. Seulas senyum tergurat di bibirnya. Sesaat pedati berhenti untuk pemeriksaan dan beberapa lama kemudian telah melaju kencang. Saat merasa telah aman, Sabda Dewa melepaskan pegangannya. Tubuhnya berdebam di tanah berdebu. Sesaat kehilangan kendali, tubuhnya berguling. Namun detik berikutnya ia sudah bisa mengontrol diri. Ia berdiri, menepuk-nepuk baju yang ia pinjam tanpa sepengetahuan pemiliknya itu. Debu-debu berkepulan di udara.
            Sang penguasa Cakra Buana ini melangkahkan kakinya. Jalanan lengang sepi. Tak nampak seorang pun. Malam belum terlalu larut namun rakyatnya tampak telah berada di peraduan melepas penat karena seharian larut dalam aktifitas. Sayup- sayup telinga Sabda Dewa menangkap suara tangis dari kejauhan.
Sabda Dewa menajamkan pendengarannya mencoba mencari sumber suara, setelah yakin dengan sedikit tergesa ia melangkahkan kakinya. Tak berapa lama berjalan Sabda Dewa sampai ke tujuan, sebuah lorong sempit. Cahaya temaram dari api unggun menerangi lorong itu. Perlahan ia mendekat berusaha untuk tidak mengejutkan wanita yang berjongkok membelakanginya. Dua anak kecil tampak berlutut di hadapan wanita itu. Air mata tampak mengalir di pipi dua anak itu. Si ibu yang sibuk mengaduk-aduk panci yang mengepul di hadapannya rupanya tidak menyadari ada orang di belakangnya. Namun salah seorang anaknya melihat kedatangan Sabda Dewa.
            “ Bunda..,” ucap sang anak lirih.
            Si ibu berpaling , rona ketakutan mendadak membias di wajahnya.
            “ Ibu jangan takut saya tidak bermaksud jahat. Ibu sedang apa di sini? Mengapa ibu tidak diam di rumah?” Sabda Dewa berjongkok di antara dua anak kecil itu. Kepalanya membelai kepala salah satu anak. Rasa sayang menyeruak di sudut hati terdalamnya.
            “ Ibu?” ucap Sabda Dewa kembali saat pertanyaannya tak berbuah jawaban.
            “ Saya hanya orang miskin nak. Jangankan rumah, untuk mengisi perut pun saya tidak punya apa-apa.”
            “ Terus, apa yang sedang ibu masak ini?”
            “ Ini...” si ibu menyerokkan centong kayu yang dipegangnya dan mengangkat masakannya. Sebuah benda berkepul asap tipis terangkat dari air yang mendidih.  Sabda Dewa mengamati dengan seksama benda berkepul di hadapannya , tak tercium bau apapun dari benda itu. Ia tercekat.
            “ Batu...” desisnya nyaris tak terdengar.
            “ Iya, hanya ini yang bisa ibu lakukan, semata-mata hanya untuk  membuat mereka tertidur karena lama menunggu.” Ucap wanita itu sambil melirik kedua anaknya yang telah tertidur di kiri kanan Sabda Dewa.
            Sabda Dewa tersentak sebuah palu besar seolah menghantam dadanya. Di bawah pemerintahannya, ternyata masih ada rakyatnya yang untuk mendapatkan sesuap nasi pun ternyata tidak mampu. Hatinya seakan tersayat dengan kenyataan yang kini ada di hadapannya. Ia merogoh kantung kecil di pinggangnya, mengeluarkan beberapa keping uang emas.
            “ Ibu ambilah ini,” ucap Sabda Dewa sambil menyusupkan benda itu kegenggaman wanita setengah baya di hadapannya itu.
            “ Maaf nak saya tidak berhak menerimanya. Apa kata orang kalau saya punya uang sebanyak ini. Mereka pasti berpikir saya mendapatkannya dengan cara mencuri. Saya tidak mau di anggap pencuri, maaf...”
            “ Tidak usah memikirkan penilaian orang lain. Pikirkan saja mereka ini, “ ucap Sabda Dewa sambil mengusap rambut salah satu anak yang tertidur di pangkuannya.
            Perempuan itu terlihat bimbang untuk sesaat.
            “ Baiklah untuk mereka...” tangannya menggenggam kepingan logam yang disusupkan ke tangannya. Air mata perlahan menetes menyusur pipinya
            “ Terimakasih...” ucapnya pendek namun sarat makna.    
                     

***

Sabda Dewa merebahkan tubuhnya. Hatinya pilu, ternyata masih ada rakyatnya yang butuh perhatian lebih. Namun saat ini ada masalah yang jauh lebih besar menghadang. Ia mencoba memejamkan mata. Tubuhnya telah lelah, namun pikirannya tak mau diajak bekerjasama. Berbagai jalan keluar bergantian bermunculan di benaknya. Sadar tak bisa tidur, Sabda Dewa pun bangkit dari peraduannya. Saat ia keluar dua orang pengawal nampak masih bersiaga menjalankan tugas.
“ Paduka...”
Keduanya menjura hormat.
“ Tidak bisa tidur paduka?” salah seorang prajurit memberanikan diri bertanya.
“ Begitulah. Kalian tugas malam rupanya?”
“ Iya paduka, baru saja kami menggantikan prajurit jaga yang lain.”
“ Boleh aku meminta bantuan kalian?”
“ Tentu saja paduka, itu sudah tugas kami. Apa yamg bisa kami lakukan untuk paduka.”
“ Pergilah ke perpustakaan dan tolong bawakan catatan lontar Strategi Perang sang Penakluk dan juga catatan Keadilan untuk Rakyat.” Titah Sang maharaja Cakra Buana.
“ Baik paduka. Hamba berdua laksanakan,” keduanya menjura hormat dan berlalu dari hadapan sang raja. Saat Sabda Dewa berbalik badan untuk kembali ke ruangan tidurnya, pandangan matanya membentur satu lukisan besar di ujung lorong. Sabda Dewa mengurungkan niatnya, langkah-langkahnya mengantarkannya ke hadapan lukisan itu.
“ Apakah aku bisa mempertahankan ini semua?”
Lukisan lambang kerajaan itu penuh makna bagi Sabda Dewa. Sebuah lingkaran besar dengan empat segitiga di bagian atas, bawah, kiri dan kanannya. Di bagian lingkaran terpampang gambar padi dan kapas. Lingkaran melambangkan Cakra Buana secara keseluruhan. Empat segitiga melambangkan kerajaan-kerajaan kecil; Maganda ,Kalingga, Nishada dan Sinhala. Padi dan kapas melambangkan kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan utama kerajaan. Inikah saat keutuhan Kemaharajaannya akan runtuh?
“ Maaf paduka ini catatan yang paduka minta ,” salah satu prajurit mendekat dan mengangsurkan dua gulungan lontar.
“ Terimakasih prajurit, “ Sabda Dewa berucap .
Dengan bekal dua gulungan lontar itu, ia berharap bisa mendapat jalan keluar dari masalah yang sekarang dihadapinya.