Murad
melangkahkan kakinya. Lorong itu benar-benar gelap seandainya tidak ada obor di
tangan kanannya. Temaram cahaya obor sedikit banyak membantu penglihatannya. Ia
mendesah berat. Baru saja masuk, satu jebakan hampir saja membuat nyawanya
melayang. Ia lolos dari sejumlah tombak yang tiba-tiba saja berdesingan dari
dinding batu di kiri kanannya.
Namun hal itu tak menyurutkan tekadnya sedikit pun. Ia telah
masuk kuil Dewa Silbi dan tentu saja ia tidak mau keluar dengan tangan hampa
apalagi hanya tinggal nama. Perlahan langkah demi langkah, ia menyusuri lorong berdebu
itu kembali. Bukan karena takut tapi karena sadar tiap langkah, kematian senantiasa
mengintai.
Pada langkah tertentu, ia tersadar
pijakannya berbeda. Lantai yang jadi pijakannya tiba-tiba luruh jauh sampai ke
depan. Batu-batu runcing menganga di bawahnya. Dengan sigap Murad bergerak. Kedua
kakinya melebar, telapak kakinya bertumpu ke dinding di kiri kanannya. Dengan
posisi seperti itu, Murad berusaha merayap melewati rintangan. Tidak terlalu
jauh, namun posisi seperti itu membuat kakinya menjadi cepat pegal. Tapi ia
terus memaksa otot-otot kakinya untuk bekerja. Jika tidak demikian batu-batu
runcing di bawahnya tentu saja tak akan segan untuk menyambutnya. Ketika ia
sampai ke ujung, kakinya terasa mati rasa. Ia mengibas-kibaskan kakinya.
Kuil Dewa Silbi,
tepat berada di tengah-tengah wilayah Kesultanannya, Kesultanan Cadarian. Kuil
ini telah ratusan tahun berdiri. Dan diselang waktu itu, baru dirinyalah yang
bisa masuk ke dalamnya. Dari perkamen-perkamen peninggalan raja terdahulu diketahui,
bahwa di dalam kuil Dewa Silbi ini terdapat sebuah benda luar biasa. Dan sekarang
demi benda itulah ia berjuang mati-matian.
Saat kakinya terasa sudah kembali
seperti sediakala, Murad kembali melanjutkan perjalanannya. Langkah demi
langkah. Namun ternyata lorong itu makin mengecil sampai akhirnya hanya merangkak
yang bisa dilakukan oleh sang Sultan Cadarian ini. Debu berkepulan saat ia
menyeret tubuhnya yang bertumpu pada lutut. Merangkak perlahan sampai akhirnya ia tiba di ujung lorong. Satu ruangan terang
benderang menghampar di hadapannya.
Murad mengejap-kejapkan matanya.
Silau.
Tampak di tengah ruangan - yang rupanya ruangan utama - satu
benda kecil di atas tonggak berukuran sebesar paha orang dewasa. Benda kecil
itu berkilauan. Rupanya benda itulah yang membuat ruangan itu terang benderang.
Penguasa Cadarian itu meloncat memasuki ruangan bertabur cahaya itu. Perlahan ia
mendekati tonggak di tengah ruangan. Kewaspadaannya berlipat. Benda yang
diinginkannya sudah ada di depan mata. Namun saat melihat semuanya terlalu
mudah, kewaspadaan berlipat memenuhi diri Murad . Ia mencoba mengamati detil
ruangan itu. Tidak ada yang aneh. Ruangan serba putih itu hanya mempunyai jalan masuk dan keluar lewat lubang
yang baru saja dilaluinya.
Di empat sisi dinding agak ke atas tampak empat patung yang
berbeda-beda. Empat patung dewa setahu Murad. Dewa-dewa
bawahan Dewa Silbi. Perlahan Murad mendekat ke tengah ruangan. Kekhawatirannya
tidak terbukti. Tak ada jebakan apapun sampai akhirnya ia menyentuh benda yang
sangat diinginkannya itu. Benda yang bisa membuat pemiliknya mampu mengendalikan
makhluk apapun.
Stempel Dewa.
Ia menggenggam benda
itu dan menariknya. Benda itu kini telah ada di tangannya. Cahaya di tubuh
benda itu meredup dan tak keluar lagi saat benda itu ditarik dari dudukannya. Dari
atas terdengar suara berderak, langit-langit ruangan membuka perlahan. Cahaya
purnama dengan leluasa menerobos masuk membunuh kegelapan yang sempat
terhampar.
Kegembiraan yang amat
sangat melingkupi hati sang Sultan. Sehingga ia tidak menyadari bunyi berderit
dari dinding –dinding ruangan. Empat patung batu itu perlahan-lahan melepaskan
diri dari dinding di belakangnya.
Mereka berempat seolah
punya nyawa. Bangkit dan menjejakkan kakinya di lantai ruangan. Saat mereka
melangkah, barulah Murad tersadar. Langkah kaki batu mereka menggoncang lantai
ruangan. Menimbulkan retakan-retakan kecil di lantai pualam.
Murad tersentak. Walau
bagaimana pun mustahil mengalahkan empat patung batu sekaligus. Apalagi
terlihat patung batu itu demikian kokoh. Penguasa Cadarian itu mengeluarkan pedang melengkungnya..
“ Trang...!!!”
Percikan bunga api
menyembur saat pedang melengkung Murad menghantam tubuh batu sang Dewa. Tangan
Murad bergetar hebat. Kesemutan melanda tubuhnya. Tapi tak sedikit pun makhluk
itu bergeming.
Murad berkelit saat
tangan makhluk itu berusaha menjangkaunya.
Murad kembali mencoba.
Ia menghantam kembali makhluk itu dengan pedangnya. Tapi sia-sia makhluk itu
tidak terpengaruh sedikitpun.
“ Trang...!!!”
Murad mendengus. Dengan
gerakan lincah ia bergerak ke belakang makhluk itu dan berusaha mendorongnya,
namun tenaganya bukan tandingan tubuh kokoh itu.
“ Bukk...”
Sebuah pukulan, telak
menghantam kepalanya.
Karena fokus pada
makhluk yang dihadapinya, Murad melupakan makhluk yang lain.
Dan fatal.
Kepalanya serasa hancur
saat satu kepalan tangan patung batu yang lain menghantam.
Darah mengucur dari
bibir,hidung dan telinganya. Rasa pusing luar biasa membuatnya terhuyung.
Sempoyongan, ia berusaha untuk tetap berdiri. Jika terkapar, ia bisa jadi bulan-bulanan
makhluk-makhluk ini.
Tenaga
makhluk itu luar biasa, satu hantamannya saja membuat Murad merasakan kematian
tinggal sejengkal lagi menjemputnya. Namun Murad bertahan, ia tidak mau
menyerah. Usahanya selama ini hanya akan berakhir sia-sia jika ia terkapar
tewas di ruangan ini. Murad mengumpulkan segenap kekuatannya.
Namun!
“Argh....”
Leher
Murad sesaat kemudian sudah ada di genggaman makhluk batu itu. Pedang
melengkung di genggamannya terjatuh.
Kematian.
Kematian.
Murad merasakan ajalnya
sudah di depan mata. Namun ia masih sempat berpikir jernih.
Stempel Dewa!
Ia menggenggam benda
sakti itu, dan menghantamkannya tepat di dahi makhluk batu itu.
Detik itu juga gerakan
makhluk itu terhenti.
“ Lepaskan ana!”
Makhluk itu melepaskan
genggamannya.
Murad terhempas ke
lantai.
Tiga patung batu
mendekat.
“ Lindungi ana!”
perintah Murad.
Patung batu yang telah
terkena stempel di dahinya bergerak menghadang. Murad menarik napas. Ia
berusaha memulihkan kondisinya.
Empat makhluk itu
bertarung. Setiap ada patung batu yang berusaha mendekat ke arah Murad, patung
batu yang sudah dicap dengan sigap menghadang. Saat Murad merasakan kepalanya
sudah tidak terlalu bermasalah, ia mencari celah untuk memberi tanda pada
patung batu yang lain. Dan kesempatan itu muncul saat salah satu patung batu
terkapar dihantam patung batu yang sudah dicap. Murad melompat dan mendarat di
lantai batu tepat di dekat kepala patung batu itu.
“ Clapp..”
Satu tanda terukir di
dahi makhluk itu.
“ Lindungi ana,”
perintahnya kembali.
Beberapa lama kemudian
dua yang lainnya pun sudah berada dalam pengaruh stempel Dewa. Murad bernapas
lega, terbayang perjalanan untuk keluar tidak akan seberat saat ia masuk.
ana = aku
|
Beberapa purnama kemudian.
Bergerak ke arah timur sepasang manusia itu sudah
punya tujuan pasti. Tanah Monstara. Sebuah tempat yang biasanya dihindari
manusia. Namun justru tempat itu kini menjadi harapan dari salah satu
penunggang Phorusrhacos itu untuk mewujudkan impiannya. Keduanya menggebrak
burung tunggangannya. Dua burung padang pasir itu bergerak cepat melintasi
padang pasir yang seolah tak berujung. Kemana pun mata memandang yang nampak
hanya hamparan pasir.
“ Nahnu istirahat di sini dulu Ahmed!”
Setelah beberapa lama mereka memacu tunggangannya
dalam keheningan ,sosok di sebelah kanan berucap.
“ Baik paduka.”
Keduanya berhenti di balik bayangan bukit pasir yang
baru mereka lewati. Pemuda yang di panggil Ahmed membuka perlengkapan yang
tersampir di sisi kiri tunggangannya. Sesaat kemudian sebuah tenda dari kulit
unta telah berdiri. Walau tidak begitu kokoh karena hanya bertumpu pada pasir
tapi setidaknya tenda itu dapat melindungi dari angin bercampur pasir yang
sesekali berhembus.
“ Istirahat dulu paduka Sultan,” ucap si pemuda
mempersilahkan teman seperjalanannya untuk masuk.
“ Terimakasih Ahmed, tidak salah ana memilih anta
sebagai tangan kanan ana dan juga sebagai teman seperjalanan ke tanah
monstara.”
“ Iya paduka. Ini kebanggaan juga bagi hamba bisa
menemani paduka. Tapi kalau boleh tahu apa tujuan paduka ke Tanah Monstara.
Bukankah justru para makhluk penghuni tanah itulah yang kerap menebar teror
pada rakyat nahnu. Kalau bukan karena kemampuan
cenayang Kosem, mungkin rakyat nahnu, Kesultanan nahnu tinggalah cerita
saja.”
“ Ada satu tujuan besar yang ingin ana capai. Dan
tanah Monstara adalah langkah besar untuk mewujudkannya.”
“ Baru dua hari perjalanan nahnu, setidaknya nahnu
masih harus berjalan tujuh hari lagi untuk sampai tujuan.”
“ Makanya ana memilih anta Ahmed. Antalah orang
pertama dan satu-satunya dari Kesultanan nahnu yang pernah melintas daratan ini
dan pernah ke Tanah Monstara.”
“ Tanah Monstara....” Ahmed bergumam pelan. Sebuah
daratan yang menurutnya tanah yang luar biasa. Tanah yang sebetulnya
menjanjikan. Subur, banyak makanan dan berlimpah air. Namun sayangnya daratan
ini juga dihuni makhluk-makhluk mengerikan seperti Troll. Belum lagi Likan dan Drakula.
Masih teringat jelas di benaknya saat ia berjuang
mati-matian untuk keluar dari daratan itu. Bertarung dengan Likan, bertempur
dengan drakula dan melarikan diri dari Troll. Makhluk-makluk yang menjadikan
dirinya sebagai salah satu menu makan mereka. Makhluk yang haus daging dan
darahnya.
“ Luar biasa sebenarnya saat ana tahu anta selamat
dari tanah Monstara. Anta benar-benar luar biasa!”
“ Hamba hanya beruntung paduka”
“ Bukan keberuntungan semata-mata kalau bisa lolos
dari tiga makhluk mengerikan. Troll, Likan dan Drakula. Lolos dari satu makhluk
itu pun sudah luar biasa apalagi ini dari tiga makhluk itu sekaligus.”
“ Paduka terlalu berlebihan...”
“ Kerajaan nahnu butuh orang-orang seperti anta...”
ucap Sultan Murad sambil menepuk-nepuk bahu kiri anak muda kepercayaannya itu.
Burung aneh di bahu kanannya menguik.
***
Nahnu = kita atau kami
|
Ahmed - anak muda Kesultanan Cadarian- seorang pemuda yang gemar menjelajah padang
pasir. Baginya padang pasir adalah tempat yang menakjubkan sekaligus juga
tempat yang dapat menguji ketahanan tubuh.
Seperti beberapa tahun yang lalu, tanpa sengaja ia menemukan sebuah gua.
Saat ia mencoba masuk dan menyusuri bagian dalamnya satu rintihan memilukan
terdengar di satu sisi. Ia memberanikan diri menghampiri sumber suara.
Satu sosok bertubuh besar nampak terduduk lemah
bersandar di dinding gua. Satu benda besar menancap di telapak kakinya. Benda
itulah rupanya yang membuatnya tidak henti mengeluarkan rintihan. Mata makhluk
itu nampak membesar saat melihat kehadiran Ahmed. Sang pemuda gentar juga, ia
berniat berbalik arah. Namun sosok itu tampak tersenyum. Namun senyum yang
tercipta justru malah membuat makhluk itu makin menakutkan. Empat gigi taring
di atas dan bawah bibirnya terlihat mencuat mengerikan. Makhluk itu melambai
dan menunjuk-nunjuk telapak kakinya. Sebuah gumaman tak jelas keluar dari
mulutnya.
Tanpa kata-kata pun Ahmed mengerti makna isyarat
itu. Walau penuh keraguan perlahan anak muda itu mendekati sosok besar berkulit
hijau itu. Tangannya menggenggam benda yang menancap di telapak kaki makhluk
itu. Ahmed mengerahkan tenaganya.
“ Clapp...”
Sebatang benda runcing tercabut dari telapak
kakinya. Makhluk itu menarik napas lega.
Rasa sakitnya jauh berkurang. Ia berdiri dan melompat-lompat. Makhluk itu
mengulurkan tangan dan Ahmed menyambutnya. Makhluk itu meletakan tubuh anak
muda itu di bahunya.
Inilah awal sampai ia berkelana di Tanah Monstara.
Beberapa tahun ia hidup bersama Troll yang pintar membalas budi itu. Sampai
pada akhirnya Troll-troll yang lain menginginkan dirinya sebagai makanan. Pertarungan
yang terjadi membuat Ahmed kehilangan pelindung sekaligus sahabatnya itu. Sejak
itu Tanah Monstara menjadi tidak aman lagi untuk dirinya. Ia berusaha untuk
keluar dari Tanah Monstara. Namun tidak semudah itu ternyata. Berkali-kali ia
harus bertempur dengan makhluk-makhluk mengerikan yang haus darah dan ingin
menjadikan dirinya sebagai salah satu menu makan mereka.
Pertarungan demi pertarungan dengan berbagai makhluk
mengerikan menjadikan dirinya makin tangguh dan memiliki kemampuan bertempur
yang luar biasa. Hal inilah yang akhirnya mengantarkan dirinya dekat dengan
pusat kekuasaan Kesultanan Cadarian. Sampai akhirnya ia menjadi tangan kanan
Sultan Murad
***
“ Apa yang harus nahnu lakukan?” Sultan Cadarian
bertanya saat keduanya telah memasuki sebuah hutan lebat di sisi timur Cadarian
itu.
“ Yang paling dekat dari tempat nahnu sekarang ini
adalah perkampungan Troll. Di antara ketiga makhluk luar biasa yang ada di
daratan ini, merekalah yang paling mudah nahnu taklukan. Walaupun mereka makhluk
yang tidak cerdas. Setidaknya kalau nahnu sudah bisa menguasai mereka, mereka
bisa menjadi pelindung nahnu.” ucap Ahmed, tangannya menyingkap akar pohon yang
tergantung menghalangi jalannya. Keduanya berjalan menyusuri hutan, menyibak
semak-semak sampai akhirnya...
“ Luar biasa...” ucap Sultan Murad setengah
mendesis. Di lembah kecil di hadapannya nampak satu perkampungan luar biasa.
Beberapa makhluk-makhluk luar biasa terlihat dengan berbagai macam ukuran.
Begitupun warna kulit mereka berbeda satu sama lain.
“ Perkampungan Troll...” kembali Sultan Murad
mendesis. Keduanya menyembunyikan diri dengan bertelungkup di tanah, namun
pandangan mereka tidak terlepas dari perkampungan itu.
“ Hati-hati paduka, walau penglihatan mereka buruk
mereka mempunyai penciuman yang sangat tajam dibanding nahnu. Untungnya angin
membantu nahnu, bertiup ke arah nahnu. sehingga bau nahnu tidak terbawa angin
ke perkampungan para Troll itu.”
“ Nahnu harus mendekat...”
“ Iya paduka...”
Keduanya bergerak maju. Menyelinap dari satu pohon
ke pohon lain. bahkan beberapa kali harus merebahkan diri karena yang ada hanya
semak belukar.
Satu sosok Troll tanpa terduga muncul di belakang
mereka. Sultan Murad bergerak mengambil stempel Dewa yang tersembunyi di balik
pakaiannya. Namun terlambat makhluk itu dengan deras menyerangnya. Tangan besar
makhluk itu bergerak ke arah batang leher sang Sultan Cadarian. Ahmed sang
pemuda tidak tinggal diam bergerak menghadang. Lututnya terarah deras ke arah
perut Troll berkulit kemerahan itu.
“ Bukk...”
Makhluk itu sesaat mengerang. Kemarahan membuatnya
mengalihkan target. Kini anak muda itulah incarannya. Kesempatan itu pun tidak
disia-siakan oleh Sultan Murad. Ia melompat dari sisi kiri dan ....
“ Clappp....”
Satu tanda terukir di dahi makhluk itu. Membuat
makhluk itu tidak berdaya. Terdiam menunggu perintah.
“ Nahnu berhasil Ahmed. Jalan nahnu akan jauh lebih
mudah.” Ucap Sultan Ahmed sambil tersenyum, cadar yang biasa menutupi mukanya
terurai ke bawah.
“ Perkampungan ini tidak akan terlalu susah untuk ditaklukan
paduka Sultan,” ucap Ahmed . Ia pun tersenyum melihat kegembiraan yang
terpancar dari orang nomor satu Cadarian itu.
“ Bagaimana dengan para Likan dan Drakula?”
“ Para Likan ada di padang rumput di sisi selatan.
Relatif tidak jauh dari sini. Sepertinya perjuangan nahnu di sana memerlukan
usaha yang jauh lebih keras daripada di sini. Para drakula berada di sisi
utara, cukup jauh dari sini. Medan yang harus nahnu tempuh pun lumayan berat.
Tebing terjal membatasi nahnu dengan kastil di mana mereka tinggal.”
“ Bersama anta sepertinya tidak akan ada yang
berat,” ucap Sultan Murad. Kepuasan terlukis jelas di wajahnya.