Senin, 02 Desember 2013

Bab 3 Utusan dari Mandala


Pertemuan tiga pasang mata itu baru berlangsung, namun suasana penuh ketegangan membuat orang – orang yang ada di sana merasakan ketidaknyamanan.
              Lelaki muda bermahkota kecil mendesah pelan
              Lelaki setengah baya di depannya yang tak lain adalah Mahapatih Balung meneruskan ucapannya.
              “... begitulah titah dari Maharaja Sabda Dewa. Pamanda harap ananda bisa bersikap bijak. Walau bagaimana pun hubungan yang terjalin antara Cakra Buana dengan Nishada telah berlangsung ribuan tahun. Selama ini hubungan kedua kerajaan berlangsung dengan begitu baik. Cakra Buana memberikan perlindungan untuk Nishada dan sepatutnya Nishada membalas dalam bentuk upeti dan pajak. Banyak hal yang Cakra Buana berikan untuk Nishada sebagai kerajaan bawahan. Akan sangat berlebihan sekiranya jika Nishada berniat untuk melepaskan diri dari Cakra Buana...”
              Mahapatih Balung berhenti sesaat. Tangannya terulur ke cangkir teh di atas meja. Sesaat kemudian teh hangat itu sudah mengalir membasahi kerongkongannya.
              “ Jadi akan jauh lebih bijak jika ananda mengurungkan niat tersebut. Yang pertama, tentu saja pamanda ingin meminta kepastian dari ananda. Apakah benar informasi yang pamanda dapat? Apakah benar Nishada akan membangkang ?”
              Lelaki muda itu mengangkat wajahnya, sesaat ia melirik ke arah lelaki – yang dari tadi hanya terdiam – di sebelahnya. Lelaki itu mengangguk pelan nyaris tak terlihat.
              “ Sebelumnya saya sampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas kedatangan Pamanda. Suatu kehormatan besar bagi Nishada kedatangan orang penting Cakra Buana....” Raja Nishada itu menarik napas pelan, mencoba menata kata.
              “ Kedatangan Pamanda ini bermakna ganda untuk ananda. Yang pertama ternyata Cakra Buana masih memberi perhatian pada Nishada. Yang kedua tentu saja kedatangan Pamanda ini ternyata bisa membuka mata hati ananda. Seperti yang sudah pamanda jelaskan di awal.  Hubungan yang terjalin antara Ananda dan Maharaja Cakra Buana tidak hanya sebatas hubungan resmi. Kami berdua pernah tergabung dalam pedadaran yang sama, dalam pasukan yang sama...”
              “ Dan jadi dua lulusan terbaik yang pernah ada.” Mahapatih Balung menimpali.
              “ Yang dilatih oleh Panglima terbaik yang pernah di miliki Cakra Buana,”  Gurat Bumi sang raja Nishada membalas dengan sanjungan pula.
              “ Bagaimana dengan pertanyaan pamanda tadi. Tentu saja ananda punya jawaban yang masuk akal untuk semua hal itu?”
              “ Informasi yang pamanda dengar itu memang benar...” ucap Gurat Bumi pelan, lelaki di sebelahnya tersentak mendengar pernyataan lugas itu. Mahapatih Balung tersenyum kecil. Ia menyadari ada perbedaan cara pandang dari dua orang yang ada di hadapannya ini. Namun lelaki yang berada di sebelah Gurat Bumi bukanlah ancaman yang sesungguhnya. Purwa Gada hanyalah seorang penasehat kerajaan, kebijakan tertinggi tentu saja tetap berada pada lelaki muda yang baru saja bicara. Perkataan yang terlontar dan apa adanya itu tentu saja lebih memudahkan dirinya untuk mencairkan hati sang Raja Nishada.
              “ Memang benar kami ada keinginan untuk lepas dari Cakra Buana. Namun semuanya itu tidak terlepas dari kebijakan Mandala sendiri. Sebagai pusat  kekuasaan kerajaan Cakra Buana,Mandala kadang mengambil kebijakan yang tidak adil...”
              “ Seperti soal pajak?”
              “ Salah satunya, di samping itu ada beberapa pejabat di Mandala yang menganakemaskan kerajaan bawahan tertentu. Tentu saja ini akan menimbulkan reaksi dari kerajaan – kerajaan yang lain. Kebijakan perdagangan pun kurang menguntungkan kami. Segala sesuatu mesti melewati Mandala dan ini jelas merugikan kami. Dari segi waktu dan upah yang harus kami pikul membuat biaya yang harus dikeluarkan menjadi berlipat.”
              Mahapatih Balung mengangguk-anggguk, mencoba mencerna kata demi kata yang disampaikan anak muda penguasa Nishada itu.
              “ Jadi yang ananda inginkan?”
              “ Bukan ananda, tapi rakyat Nishada. Salah satunya adalah kebebasan bagi kami untuk melakukan perdagangan secara langsung ke negara-negara bagian yang lain.”
              “ Selain itu?”
              “ Pajak yang diterapkan di kerajaan kami. Terlalu tinggi. Ini membuat pendapatan untuk Nishada sendiri menjadi berkurang karena harus ditekan. Pajak ganda yang diterapkan tentu saja membuat salah satu harus mengalah, dalam hal ini mau tak mau Nishada mesti menurunkan pajak. Dan tentu saja ini juga untuk rakyat Nishada sendiri. Hal ini mengakibatkan pajak yang masuk untuk Nishada menjadi jauh berkurang dibanding dengan sebelumnya.”
              “ Untuk soal yang pertama pamanda juga setuju  dengan apa yang ananda sampaikan. Namun untuk masalah pajak ini mutlak keputusan sang Maharaja. Namun tentu saja apa  akan paman sampaikan ke kotaraja. Ada hal lain yang ingin ananda sampaikan?”
              “ Ananda akan memberi waktu tiga purnama jika tidak terjadi perubahan berarti. Kemungkinan besar rencana yang pamanda dengar itu mungkin saja tidak akan terelakan.”
              “ Ananda terlalu mengada-ada bukan kapasitas negara bawahan untuk mengultimatum kami...” Mahapatih menarik napas, kata-kata anak muda itu memantik emosinya.


* * *

              “ Ganda Bara, kau keras kepala!” Mahapatih Balung membentak sambil menggebrak meja. Emosinya meluap mendengar kata-kata lawan bicaranya.  Dengan terang-terangan Raja Kalingga itu menyatakan keinginannya untuk melepaskan diri dari Cakra Buana.
              “ Perkataanku mewakili sikap rakyatku. Sudah waktunya Kalingga berdiri sendiri tidak berada terus di bawah ketiak Cakra Buana.”
              “ Dan tentu saja kau telah memikirkan resikonya. Tindakan apa yang akan diambil oleh Cakra Buana seandainya kau tetap bersikeras untuk memberontak?”
              “ Kami sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi,” ucap sang raja Kalingga, keyakinan penuh terpancar dari kata-katanya.
              “ Baiklah kalau kau tetap bersikeras dengan keinginanmu. Tidak ada lagi kepentinganku untuk tetap di sini..”
              “ Silahkan, kami pun tidak punya wewenang untuk menahan Mahapatih di sini. Mahapatih punya kebebasan...”  ucap sang raja Kalingga sambil berdiri. Kemarahan luar biasa menguasai Mahapatih Balung melihat kepongahan yang ditunjukan oleh tuan rumah. Segumpal emosi berkecambuk di dada Mahapatih saat dirinya beranjak pergi.

* * *
              Mahapatih Balung memacu kudanya dengan kecepatan tinggi membelah padang rumput ke arah kotaraja. Selain emosi yang meluap, informasi penting yang mesti disampaikan pada Maharaja Sabda Dewa membuatnya tak punya banyak waktu. Kepergiannya ke Nishada dan Kalingga hanya berakhir dengan kesia-siaan. Namun sedikit harapan muncul ketika ia berkunjung ke Nishada. Setidaknya Nishada masih menaruh hormat pada dirinya sebagai utusan dari kotaraja. Nishada masih layak untuk mendapat pengampunan tapi tidak dengan Kalingga.
              Dua buah batu besar menjulang di kejauhan. Sebuah pemandangan yang kontras di tempat yang seluruhnya hijau oleh rerumputan. Mahapatih Balung memacu kudanya di antara kedua batu besar itu. Saat kedua batu itu hampir saja dilewatinya, mendadak tubuh kudanya itu tersentak ke depan dan ambruk. Mahapatih Balung bertindak cepat, mengimbangi dengan meloncat ke udara. Namun pada saat yang sama terdengar desingan di udara. Deras tertuju ke arahnya. Mahapatih mendengus marah. Mustahil untuk menghindar ketika posisinya berada di udara seperti itu. Tidak ada yang bisa dijadikan titik tumpu agar dirinya bisa bergerak menghindar. Namun nalurinya masih terasah sama seperti ketika ia masih seorang panglima. Tangannya bergerak ke arah belakang bahu kiri meloloskan pedangnya. Dengan kecepatan tinggi pedangnya membelah udara melindungi majikannya.
              “Srrtt...”
              “ Trakk...”
              “ Trakk...”
              Empat dari lima anak panah yang tertuju ke dirinya berhamburan di udara terkena tebasan pedang. Namun satu anak panah berhasil lolos.
              “ Crass...”
              Mahapatih Balung mengeluh pelan. Dengan telak anak panah itu menancap di bahu kiri tembus sampai ke bagian kiri punggungnya. Mahapatih Balung mendarat di tanah. Rerumputan belum terlalu kering sisa-sisa embun masih ada di pagi itu. Mahapatih Balung memperhatikan sekelilingnya, kewaspadaannya berlipat. Tak ada keraguan sedikitpun dalam benaknya kalau ini semua adalah ulah sang raja Kalingga. Lima sosok melayang dari dua batu besar di kiri kanannya. Berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup hanya menyisakan sepasang mata. Berbekal tombak di tangan, lima sosok itu mengepung Mahapatih Balung.
              “ Dari tombak yang kalian pegang jelas kalian para prajurit Kalingga. Raja dan prajurit sama saja kotornya. Kalian berani menyerangku tidak akan ada ampun buat kalian. Ayo maju!!!” Mahapatih Balung mendengus penuh kemarahan.
              Ia telah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Pedang di tangannya tidak akan segan untuk menghabisi sosok-sosok serba hitam di sekelilingnya. Ia memutar pedangnya. Lawan yang diserang bergerak mundur. Namun sesaat kemudian lima sosok itu kembali merangsek maju.
              “ Trang...”
              “ Trangg...”
              Bunyi senjata beradu bergema di udara. Walau gerakan Mahapatih Balung tidak segesit dulu, namun jelas lima sosok yang mengepungnya bukan lawan sepadan untuk dirinya. Baru beberapa saat pertarungan itu terjadi satu sosok sudah terkapar bersimbah darah. Ambruk tanpa nyawa di atas rerumputan. Sesaat kemudian dua kawannya menyusul. Luka menganga di tubuh keduanya membuat nyawanya pun ikut raib.
              Dua orang yang tersisa tak urung merasa jeri. Dalam beberapa sabetan tiga nyawa melayang. Keduanya saling melirik, mencoba berkomunikasi apa yang harus dilakukan. Melanjutkan pertarungan ataukah meninggalkan gelanggang. Namun rupanya Mahapatih Balung tidak mau memberi kesempatan. Lagi-lagi pedangnya berkelebat. Lawan yang diserang menghindar dengan mundur ke belakang. Tombaknya terpentang menghadang.
              “ Brass...”
              Dengan telak pedang Mahapatih Balung menghantam badan tombak membabatnya menjadi dua. Tak ayal gerakan pedang yang tak terbendung membuat petaka untuk sang pemilik tombak.
              “ Crasss...”
              Satu luka besar robek di dada sosok serba hitam. Darah menyembur dari luka yang tercipta. Tubuh itu ambruk ke tanah, bergelojotan meregang nyawa. Sosok yang lain melihat kesempatan itu segera menggunakannya untuk melarikan diri. Namun Mahapatih Balung yang sudah benar-benar geram tidak mau memberi kesempatan. Ia berkelebat,  bergerak menghadang.
              “ Memalukan untuk seorang prajurit melarikan diri dari medan pertempuran! Apalagi medan pertempuran yang diciptakan oleh dirinya sendiri!” Mahapatih Balung membentak.
              Nyali sang penyerang sudah benar-benar raib. Tubuhnya bergetar. Tangannya terkulai. Tombaknya terjatuh ke atas rerumputan.
              “ Ambil tombakmu! Aku tidak mau menyerang orang yang tidak bersenjata!”
              Sosok serba hitam itu bukannya mengambil tombaknya justru tubuhnya terkulai berlutut.
              Melihat itu, amarah Mahapatih Balung perlahan mulai mereda. Rasa sakit tak tertahankan mulai terasa menyerang bahu kirinya, di mana sebatang anak panah masih tertancap di situ. Selama pertempuran rasa sakit itu teralihkan kini mulai terasa pandangannya mulai berpendar.
              “ Pergilah sampaikan pada rajamu apa yang terjadi!”
              Saat Mahapatih menggebrak kudanya dan sosok serba hitam berlalu ke arah sebaliknya, sebuah senyum tersungging dari satu sosok tak jauh dari tempat itu.

* * *

              “ Jadi bagaimana pertemuan yang pamanda lakukan dengan dua kerajaan bawahan kita?” ucap Sabda Dewa. Tangannya bergerak, menebarkan makanan ikan di tangannya. Di bawahnya ikan-ikan bergerombol saling berebut. Keduanya berdiri tepat di tengah jembatan yang melengkung melintasi kolam yang tak terlalu luas.
              “ Dari pembicaraan yang pamanda lakukan dengan Raja Gurat Bumi,  sepertinya Nishada masih bisa kita atasi. Namun Kalingga tetap bersikeras untuk melepaskan diri.”
              “ Ada masalah lain?”
              “ Perjalanan pulang Pamanda agak terganggu dengan kehadiran orang-orang yang tidak bertanggungjawab.”
              “ Itulah yang ananda khawatirkan dari awal, keselamatan pamanda. Makanya ananda berharap Pamanda membawa sejumlah prajurit sebagai pengawal. Tapi pamanda bersikukuh tidak mau. Tapi pamanda tidak apa-apa?”
              “ Hanya luka di bahu, ini pun karena pamanda dibokong”
              “ Menurut pamanda siapa pelakunya?”
              “ Kalingga...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar