Pertemuan tiga pasang mata
itu baru berlangsung, namun suasana penuh ketegangan membuat orang – orang yang
ada di sana merasakan ketidaknyamanan.
Lelaki muda bermahkota kecil mendesah pelan
Lelaki setengah baya di depannya yang tak lain adalah
Mahapatih Balung meneruskan ucapannya.
“... begitulah titah dari Maharaja Sabda Dewa. Pamanda
harap ananda bisa bersikap bijak. Walau bagaimana pun hubungan yang terjalin
antara Cakra Buana dengan Nishada telah berlangsung ribuan tahun. Selama ini
hubungan kedua kerajaan berlangsung dengan begitu baik. Cakra Buana memberikan perlindungan
untuk Nishada dan sepatutnya Nishada membalas dalam bentuk upeti dan pajak.
Banyak hal yang Cakra Buana berikan untuk Nishada sebagai kerajaan bawahan.
Akan sangat berlebihan sekiranya jika Nishada berniat untuk melepaskan diri
dari Cakra Buana...”
Mahapatih Balung berhenti sesaat. Tangannya terulur ke
cangkir teh di atas meja. Sesaat kemudian teh hangat itu sudah mengalir
membasahi kerongkongannya.
“ Jadi akan jauh lebih bijak jika ananda mengurungkan
niat tersebut. Yang pertama, tentu saja pamanda ingin meminta kepastian dari
ananda. Apakah benar informasi yang pamanda dapat? Apakah benar Nishada akan
membangkang ?”
Lelaki muda itu mengangkat wajahnya, sesaat ia melirik
ke arah lelaki – yang dari tadi hanya terdiam – di sebelahnya. Lelaki itu
mengangguk pelan nyaris tak terlihat.
“ Sebelumnya saya sampaikan terimakasih yang
sedalam-dalamnya atas kedatangan Pamanda. Suatu kehormatan besar bagi Nishada
kedatangan orang penting Cakra Buana....” Raja Nishada itu menarik napas pelan,
mencoba menata kata.
“ Kedatangan Pamanda ini bermakna ganda untuk ananda.
Yang pertama ternyata Cakra Buana masih memberi perhatian pada Nishada. Yang
kedua tentu saja kedatangan Pamanda ini ternyata bisa membuka mata hati ananda.
Seperti yang sudah pamanda jelaskan di awal.
Hubungan yang terjalin antara Ananda dan Maharaja Cakra Buana tidak
hanya sebatas hubungan resmi. Kami berdua pernah tergabung dalam pedadaran yang
sama, dalam pasukan yang sama...”
“ Dan jadi dua lulusan terbaik yang pernah ada.” Mahapatih
Balung menimpali.
“ Yang dilatih oleh Panglima terbaik yang pernah di
miliki Cakra Buana,” Gurat Bumi sang
raja Nishada membalas dengan sanjungan pula.
“ Bagaimana dengan pertanyaan pamanda tadi. Tentu saja
ananda punya jawaban yang masuk akal untuk semua hal itu?”
“ Informasi yang pamanda dengar itu memang benar...”
ucap Gurat Bumi pelan, lelaki di sebelahnya tersentak mendengar pernyataan
lugas itu. Mahapatih Balung tersenyum kecil. Ia menyadari ada perbedaan cara
pandang dari dua orang yang ada di hadapannya ini. Namun lelaki yang berada di
sebelah Gurat Bumi bukanlah ancaman yang sesungguhnya. Purwa Gada hanyalah
seorang penasehat kerajaan, kebijakan tertinggi tentu saja tetap berada pada
lelaki muda yang baru saja bicara. Perkataan yang terlontar dan apa adanya itu
tentu saja lebih memudahkan dirinya untuk mencairkan hati sang Raja Nishada.
“ Memang benar kami ada keinginan untuk lepas dari Cakra
Buana. Namun semuanya itu tidak terlepas dari kebijakan Mandala sendiri.
Sebagai pusat kekuasaan kerajaan Cakra
Buana,Mandala kadang mengambil kebijakan yang tidak adil...”
“ Seperti soal pajak?”
“ Salah satunya, di samping itu ada beberapa pejabat di
Mandala yang menganakemaskan kerajaan bawahan tertentu. Tentu saja ini akan
menimbulkan reaksi dari kerajaan – kerajaan yang lain. Kebijakan perdagangan
pun kurang menguntungkan kami. Segala sesuatu mesti melewati Mandala dan ini
jelas merugikan kami. Dari segi waktu dan upah yang harus kami pikul membuat
biaya yang harus dikeluarkan menjadi berlipat.”
Mahapatih Balung mengangguk-anggguk, mencoba mencerna
kata demi kata yang disampaikan anak muda penguasa Nishada itu.
“ Jadi yang ananda inginkan?”
“ Bukan ananda, tapi rakyat Nishada. Salah satunya
adalah kebebasan bagi kami untuk melakukan perdagangan secara langsung ke
negara-negara bagian yang lain.”
“ Selain itu?”
“ Pajak yang diterapkan di kerajaan kami. Terlalu
tinggi. Ini membuat pendapatan untuk Nishada sendiri menjadi berkurang karena
harus ditekan. Pajak ganda yang diterapkan tentu saja membuat salah satu harus
mengalah, dalam hal ini mau tak mau Nishada mesti menurunkan pajak. Dan tentu
saja ini juga untuk rakyat Nishada sendiri. Hal ini mengakibatkan pajak yang
masuk untuk Nishada menjadi jauh berkurang dibanding dengan sebelumnya.”
“ Untuk soal yang pertama pamanda juga setuju dengan apa yang ananda sampaikan. Namun untuk
masalah pajak ini mutlak keputusan sang Maharaja. Namun tentu saja apa akan paman sampaikan ke kotaraja. Ada hal lain
yang ingin ananda sampaikan?”
“ Ananda akan memberi waktu tiga purnama jika tidak terjadi
perubahan berarti. Kemungkinan besar rencana yang pamanda dengar itu mungkin
saja tidak akan terelakan.”
“ Ananda terlalu mengada-ada bukan kapasitas negara
bawahan untuk mengultimatum kami...” Mahapatih menarik napas, kata-kata anak
muda itu memantik emosinya.
* * *
“ Ganda Bara, kau keras kepala!”
Mahapatih Balung membentak sambil menggebrak meja. Emosinya meluap mendengar
kata-kata lawan bicaranya. Dengan
terang-terangan Raja Kalingga itu menyatakan keinginannya untuk melepaskan diri
dari Cakra Buana.
“ Perkataanku mewakili sikap
rakyatku. Sudah waktunya Kalingga berdiri sendiri tidak berada terus di bawah
ketiak Cakra Buana.”
“ Dan tentu saja kau telah
memikirkan resikonya. Tindakan apa yang akan diambil oleh Cakra Buana
seandainya kau tetap bersikeras untuk memberontak?”
“ Kami sudah siap dengan apa pun
yang akan terjadi,” ucap sang raja Kalingga, keyakinan penuh terpancar dari
kata-katanya.
“ Baiklah kalau kau tetap bersikeras
dengan keinginanmu. Tidak ada lagi kepentinganku untuk tetap di sini..”
“ Silahkan, kami pun tidak punya
wewenang untuk menahan Mahapatih di sini. Mahapatih punya kebebasan...” ucap sang raja Kalingga sambil berdiri.
Kemarahan luar biasa menguasai Mahapatih Balung melihat kepongahan yang
ditunjukan oleh tuan rumah. Segumpal emosi berkecambuk di dada Mahapatih saat
dirinya beranjak pergi.
* * *
Mahapatih Balung memacu kudanya
dengan kecepatan tinggi membelah padang rumput ke arah kotaraja. Selain emosi
yang meluap, informasi penting yang mesti disampaikan pada Maharaja Sabda Dewa
membuatnya tak punya banyak waktu. Kepergiannya ke Nishada dan Kalingga hanya
berakhir dengan kesia-siaan. Namun sedikit harapan muncul ketika ia berkunjung
ke Nishada. Setidaknya Nishada masih menaruh hormat pada dirinya sebagai utusan
dari kotaraja. Nishada masih layak untuk mendapat pengampunan tapi tidak dengan
Kalingga.
Dua buah batu besar menjulang di
kejauhan. Sebuah pemandangan yang kontras di tempat yang seluruhnya hijau oleh
rerumputan. Mahapatih Balung memacu kudanya di antara kedua batu besar itu. Saat
kedua batu itu hampir saja dilewatinya, mendadak tubuh kudanya itu tersentak ke
depan dan ambruk. Mahapatih Balung bertindak cepat, mengimbangi dengan meloncat
ke udara. Namun pada saat yang sama terdengar desingan di udara. Deras tertuju
ke arahnya. Mahapatih mendengus marah. Mustahil untuk menghindar ketika posisinya
berada di udara seperti itu. Tidak ada yang bisa dijadikan titik tumpu agar
dirinya bisa bergerak menghindar. Namun nalurinya masih terasah sama seperti
ketika ia masih seorang panglima. Tangannya bergerak ke arah belakang bahu kiri
meloloskan pedangnya. Dengan kecepatan tinggi pedangnya membelah udara
melindungi majikannya.
“Srrtt...”
“ Trakk...”
“ Trakk...”
Empat dari lima anak panah yang
tertuju ke dirinya berhamburan di udara terkena tebasan pedang. Namun satu anak
panah berhasil lolos.
“ Crass...”
Mahapatih Balung mengeluh pelan.
Dengan telak anak panah itu menancap di bahu kiri tembus sampai ke bagian kiri
punggungnya. Mahapatih Balung mendarat di tanah. Rerumputan belum terlalu
kering sisa-sisa embun masih ada di pagi itu. Mahapatih Balung memperhatikan
sekelilingnya, kewaspadaannya berlipat. Tak ada keraguan sedikitpun dalam benaknya
kalau ini semua adalah ulah sang raja Kalingga. Lima sosok melayang dari dua
batu besar di kiri kanannya. Berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup hanya
menyisakan sepasang mata. Berbekal tombak di tangan, lima sosok itu mengepung
Mahapatih Balung.
“ Dari tombak yang kalian pegang
jelas kalian para prajurit Kalingga. Raja dan prajurit sama saja kotornya.
Kalian berani menyerangku tidak akan ada ampun buat kalian. Ayo maju!!!”
Mahapatih Balung mendengus penuh kemarahan.
Ia telah siap dengan segala
kemungkinan yang terjadi. Pedang di tangannya tidak akan segan untuk menghabisi
sosok-sosok serba hitam di sekelilingnya. Ia memutar pedangnya. Lawan yang
diserang bergerak mundur. Namun sesaat kemudian lima sosok itu kembali merangsek
maju.
“ Trang...”
“ Trangg...”
Bunyi senjata beradu bergema di udara.
Walau gerakan Mahapatih Balung tidak segesit dulu, namun jelas lima sosok yang
mengepungnya bukan lawan sepadan untuk dirinya. Baru beberapa saat pertarungan
itu terjadi satu sosok sudah terkapar bersimbah darah. Ambruk tanpa nyawa di
atas rerumputan. Sesaat kemudian dua kawannya menyusul. Luka menganga di tubuh
keduanya membuat nyawanya pun ikut raib.
Dua orang yang tersisa tak urung
merasa jeri. Dalam beberapa sabetan tiga nyawa melayang. Keduanya saling
melirik, mencoba berkomunikasi apa yang harus dilakukan. Melanjutkan
pertarungan ataukah meninggalkan gelanggang. Namun rupanya Mahapatih Balung
tidak mau memberi kesempatan. Lagi-lagi pedangnya berkelebat. Lawan yang
diserang menghindar dengan mundur ke belakang. Tombaknya terpentang menghadang.
“ Brass...”
Dengan telak pedang Mahapatih Balung
menghantam badan tombak membabatnya menjadi dua. Tak ayal gerakan pedang yang
tak terbendung membuat petaka untuk sang pemilik tombak.
“ Crasss...”
Satu luka besar robek di dada
sosok serba hitam. Darah menyembur dari luka yang tercipta. Tubuh itu ambruk ke
tanah, bergelojotan meregang nyawa. Sosok yang lain melihat kesempatan itu
segera menggunakannya untuk melarikan diri. Namun Mahapatih Balung yang sudah
benar-benar geram tidak mau memberi kesempatan. Ia berkelebat, bergerak menghadang.
“ Memalukan untuk seorang prajurit
melarikan diri dari medan pertempuran! Apalagi medan pertempuran yang
diciptakan oleh dirinya sendiri!” Mahapatih Balung membentak.
Nyali sang penyerang sudah
benar-benar raib. Tubuhnya bergetar. Tangannya terkulai. Tombaknya terjatuh ke
atas rerumputan.
“ Ambil tombakmu! Aku tidak mau
menyerang orang yang tidak bersenjata!”
Sosok serba hitam itu bukannya
mengambil tombaknya justru tubuhnya terkulai berlutut.
Melihat itu, amarah Mahapatih
Balung perlahan mulai mereda. Rasa sakit tak tertahankan mulai terasa menyerang
bahu kirinya, di mana sebatang anak panah masih tertancap di situ. Selama
pertempuran rasa sakit itu teralihkan kini mulai terasa pandangannya mulai
berpendar.
“ Pergilah sampaikan pada rajamu
apa yang terjadi!”
Saat Mahapatih menggebrak kudanya
dan sosok serba hitam berlalu ke arah sebaliknya, sebuah senyum tersungging
dari satu sosok tak jauh dari tempat itu.
* * *
“ Jadi bagaimana pertemuan yang
pamanda lakukan dengan dua kerajaan bawahan kita?” ucap Sabda Dewa. Tangannya
bergerak, menebarkan makanan ikan di tangannya. Di bawahnya ikan-ikan
bergerombol saling berebut. Keduanya berdiri tepat di tengah jembatan yang
melengkung melintasi kolam yang tak terlalu luas.
“ Dari pembicaraan yang pamanda
lakukan dengan Raja Gurat Bumi, sepertinya
Nishada masih bisa kita atasi. Namun Kalingga tetap bersikeras untuk melepaskan
diri.”
“ Ada masalah lain?”
“ Perjalanan pulang Pamanda agak
terganggu dengan kehadiran orang-orang yang tidak bertanggungjawab.”
“ Itulah yang ananda khawatirkan
dari awal, keselamatan pamanda. Makanya ananda berharap Pamanda membawa
sejumlah prajurit sebagai pengawal. Tapi pamanda bersikukuh tidak mau. Tapi
pamanda tidak apa-apa?”
“ Hanya luka di bahu, ini pun
karena pamanda dibokong”
“ Menurut pamanda siapa
pelakunya?”
“ Kalingga...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar