Rabu, 11 Desember 2013

Bab 5 Nestapa Sang Raja



Sabda Dewa mengendap-endap, beberapa penjaga berhasil dilewatinya. Kini hanya tanah lapang yang memisahkan dirinya dengan pintu gerbang. Namun inilah masalah terbesarnya. Tak mungkin ia menyeberang tanah lapang di hadapannya tanpa diketahui oleh para pengawal.
Pada saat yang sama dalam kebingungannya,sebuah pedati tanpa muatan lewat di hadapannya. Dengan sigap Sabda Dewa menyelinap ke bawah pedati. Mencengkramkan tangannya ke bagian bawah pedati dan menjejakkan kakinya ke sisi yang lain. Tubuhnya menempel ketat di bagian bawah pedati. Sang kusir pedati pun rupanya tak menyadari ada penumpang gelap di kendaraannya.
Pedati berguncang perlahan menyusuri tanah berdebu. Makin mendekati gerbang, dada Sabda Dewa berdebar. Entah mengapa tiba-tiba terbersit perasaan seolah dirinya penjahat yang berusaha melarikan diri dari penjara. Seulas senyum tergurat di bibirnya. Sesaat pedati berhenti untuk pemeriksaan dan beberapa lama kemudian telah melaju kencang. Saat merasa telah aman, Sabda Dewa melepaskan pegangannya. Tubuhnya berdebam di tanah berdebu. Sesaat kehilangan kendali, tubuhnya berguling. Namun detik berikutnya ia sudah bisa mengontrol diri. Ia berdiri, menepuk-nepuk baju yang ia pinjam tanpa sepengetahuan pemiliknya itu. Debu-debu berkepulan di udara.
            Sang penguasa Cakra Buana ini melangkahkan kakinya. Jalanan lengang sepi. Tak nampak seorang pun. Malam belum terlalu larut namun rakyatnya tampak telah berada di peraduan melepas penat karena seharian larut dalam aktifitas. Sayup- sayup telinga Sabda Dewa menangkap suara tangis dari kejauhan.
Sabda Dewa menajamkan pendengarannya mencoba mencari sumber suara, setelah yakin dengan sedikit tergesa ia melangkahkan kakinya. Tak berapa lama berjalan Sabda Dewa sampai ke tujuan, sebuah lorong sempit. Cahaya temaram dari api unggun menerangi lorong itu. Perlahan ia mendekat berusaha untuk tidak mengejutkan wanita yang berjongkok membelakanginya. Dua anak kecil tampak berlutut di hadapan wanita itu. Air mata tampak mengalir di pipi dua anak itu. Si ibu yang sibuk mengaduk-aduk panci yang mengepul di hadapannya rupanya tidak menyadari ada orang di belakangnya. Namun salah seorang anaknya melihat kedatangan Sabda Dewa.
            “ Bunda..,” ucap sang anak lirih.
            Si ibu berpaling , rona ketakutan mendadak membias di wajahnya.
            “ Ibu jangan takut saya tidak bermaksud jahat. Ibu sedang apa di sini? Mengapa ibu tidak diam di rumah?” Sabda Dewa berjongkok di antara dua anak kecil itu. Kepalanya membelai kepala salah satu anak. Rasa sayang menyeruak di sudut hati terdalamnya.
            “ Ibu?” ucap Sabda Dewa kembali saat pertanyaannya tak berbuah jawaban.
            “ Saya hanya orang miskin nak. Jangankan rumah, untuk mengisi perut pun saya tidak punya apa-apa.”
            “ Terus, apa yang sedang ibu masak ini?”
            “ Ini...” si ibu menyerokkan centong kayu yang dipegangnya dan mengangkat masakannya. Sebuah benda berkepul asap tipis terangkat dari air yang mendidih.  Sabda Dewa mengamati dengan seksama benda berkepul di hadapannya , tak tercium bau apapun dari benda itu. Ia tercekat.
            “ Batu...” desisnya nyaris tak terdengar.
            “ Iya, hanya ini yang bisa ibu lakukan, semata-mata hanya untuk  membuat mereka tertidur karena lama menunggu.” Ucap wanita itu sambil melirik kedua anaknya yang telah tertidur di kiri kanan Sabda Dewa.
            Sabda Dewa tersentak sebuah palu besar seolah menghantam dadanya. Di bawah pemerintahannya, ternyata masih ada rakyatnya yang untuk mendapatkan sesuap nasi pun ternyata tidak mampu. Hatinya seakan tersayat dengan kenyataan yang kini ada di hadapannya. Ia merogoh kantung kecil di pinggangnya, mengeluarkan beberapa keping uang emas.
            “ Ibu ambilah ini,” ucap Sabda Dewa sambil menyusupkan benda itu kegenggaman wanita setengah baya di hadapannya itu.
            “ Maaf nak saya tidak berhak menerimanya. Apa kata orang kalau saya punya uang sebanyak ini. Mereka pasti berpikir saya mendapatkannya dengan cara mencuri. Saya tidak mau di anggap pencuri, maaf...”
            “ Tidak usah memikirkan penilaian orang lain. Pikirkan saja mereka ini, “ ucap Sabda Dewa sambil mengusap rambut salah satu anak yang tertidur di pangkuannya.
            Perempuan itu terlihat bimbang untuk sesaat.
            “ Baiklah untuk mereka...” tangannya menggenggam kepingan logam yang disusupkan ke tangannya. Air mata perlahan menetes menyusur pipinya
            “ Terimakasih...” ucapnya pendek namun sarat makna.    
                     

***

Sabda Dewa merebahkan tubuhnya. Hatinya pilu, ternyata masih ada rakyatnya yang butuh perhatian lebih. Namun saat ini ada masalah yang jauh lebih besar menghadang. Ia mencoba memejamkan mata. Tubuhnya telah lelah, namun pikirannya tak mau diajak bekerjasama. Berbagai jalan keluar bergantian bermunculan di benaknya. Sadar tak bisa tidur, Sabda Dewa pun bangkit dari peraduannya. Saat ia keluar dua orang pengawal nampak masih bersiaga menjalankan tugas.
“ Paduka...”
Keduanya menjura hormat.
“ Tidak bisa tidur paduka?” salah seorang prajurit memberanikan diri bertanya.
“ Begitulah. Kalian tugas malam rupanya?”
“ Iya paduka, baru saja kami menggantikan prajurit jaga yang lain.”
“ Boleh aku meminta bantuan kalian?”
“ Tentu saja paduka, itu sudah tugas kami. Apa yamg bisa kami lakukan untuk paduka.”
“ Pergilah ke perpustakaan dan tolong bawakan catatan lontar Strategi Perang sang Penakluk dan juga catatan Keadilan untuk Rakyat.” Titah Sang maharaja Cakra Buana.
“ Baik paduka. Hamba berdua laksanakan,” keduanya menjura hormat dan berlalu dari hadapan sang raja. Saat Sabda Dewa berbalik badan untuk kembali ke ruangan tidurnya, pandangan matanya membentur satu lukisan besar di ujung lorong. Sabda Dewa mengurungkan niatnya, langkah-langkahnya mengantarkannya ke hadapan lukisan itu.
“ Apakah aku bisa mempertahankan ini semua?”
Lukisan lambang kerajaan itu penuh makna bagi Sabda Dewa. Sebuah lingkaran besar dengan empat segitiga di bagian atas, bawah, kiri dan kanannya. Di bagian lingkaran terpampang gambar padi dan kapas. Lingkaran melambangkan Cakra Buana secara keseluruhan. Empat segitiga melambangkan kerajaan-kerajaan kecil; Maganda ,Kalingga, Nishada dan Sinhala. Padi dan kapas melambangkan kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan utama kerajaan. Inikah saat keutuhan Kemaharajaannya akan runtuh?
“ Maaf paduka ini catatan yang paduka minta ,” salah satu prajurit mendekat dan mengangsurkan dua gulungan lontar.
“ Terimakasih prajurit, “ Sabda Dewa berucap .
Dengan bekal dua gulungan lontar itu, ia berharap bisa mendapat jalan keluar dari masalah yang sekarang dihadapinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar