Sabda Dewa mengendap-endap, beberapa penjaga berhasil dilewatinya.
Kini hanya tanah lapang yang memisahkan dirinya dengan pintu gerbang. Namun
inilah masalah terbesarnya. Tak mungkin ia menyeberang tanah lapang di
hadapannya tanpa diketahui oleh para pengawal.
Pada saat yang sama dalam kebingungannya,sebuah pedati tanpa
muatan lewat di hadapannya. Dengan sigap Sabda Dewa menyelinap ke bawah pedati.
Mencengkramkan tangannya ke bagian bawah pedati dan menjejakkan kakinya ke sisi
yang lain. Tubuhnya menempel ketat di bagian bawah pedati. Sang kusir pedati
pun rupanya tak menyadari ada penumpang gelap di kendaraannya.
Pedati berguncang perlahan menyusuri tanah berdebu. Makin
mendekati gerbang, dada Sabda Dewa berdebar. Entah mengapa tiba-tiba terbersit
perasaan seolah dirinya penjahat yang berusaha melarikan diri dari penjara.
Seulas senyum tergurat di bibirnya. Sesaat pedati berhenti untuk pemeriksaan
dan beberapa lama kemudian telah melaju kencang. Saat merasa telah aman, Sabda
Dewa melepaskan pegangannya. Tubuhnya berdebam di tanah berdebu. Sesaat
kehilangan kendali, tubuhnya berguling. Namun detik berikutnya ia sudah bisa
mengontrol diri. Ia berdiri, menepuk-nepuk baju yang ia pinjam tanpa
sepengetahuan pemiliknya itu. Debu-debu berkepulan di udara.
Sang penguasa Cakra Buana ini
melangkahkan kakinya. Jalanan lengang sepi. Tak nampak seorang pun. Malam belum
terlalu larut namun rakyatnya tampak telah berada di peraduan melepas penat
karena seharian larut dalam aktifitas. Sayup- sayup telinga Sabda Dewa menangkap
suara tangis dari kejauhan.
Sabda Dewa menajamkan pendengarannya mencoba mencari sumber
suara, setelah yakin dengan sedikit tergesa ia melangkahkan kakinya. Tak berapa
lama berjalan Sabda Dewa sampai ke tujuan, sebuah lorong sempit. Cahaya temaram
dari api unggun menerangi lorong itu. Perlahan ia mendekat berusaha untuk tidak
mengejutkan wanita yang berjongkok membelakanginya. Dua anak kecil tampak
berlutut di hadapan wanita itu. Air mata tampak mengalir di pipi dua anak itu.
Si ibu yang sibuk mengaduk-aduk panci yang mengepul di hadapannya rupanya tidak
menyadari ada orang di belakangnya. Namun salah seorang anaknya melihat
kedatangan Sabda Dewa.
“ Bunda..,” ucap sang anak lirih.
Si ibu berpaling , rona ketakutan
mendadak membias di wajahnya.
“ Ibu jangan takut saya tidak
bermaksud jahat. Ibu sedang apa di sini? Mengapa ibu tidak diam di rumah?”
Sabda Dewa berjongkok di antara dua anak kecil itu. Kepalanya membelai kepala
salah satu anak. Rasa sayang menyeruak di sudut hati terdalamnya.
“ Ibu?” ucap Sabda Dewa kembali saat
pertanyaannya tak berbuah jawaban.
“ Saya hanya orang miskin nak. Jangankan
rumah, untuk mengisi perut pun saya tidak punya apa-apa.”
“ Terus, apa yang sedang ibu masak
ini?”
“ Ini...” si ibu menyerokkan centong
kayu yang dipegangnya dan mengangkat masakannya. Sebuah benda berkepul asap
tipis terangkat dari air yang mendidih.
Sabda Dewa mengamati dengan seksama benda berkepul di hadapannya , tak tercium
bau apapun dari benda itu. Ia tercekat.
“ Batu...” desisnya nyaris tak
terdengar.
“ Iya, hanya ini yang bisa ibu
lakukan, semata-mata hanya untuk membuat
mereka tertidur karena lama menunggu.” Ucap wanita itu sambil melirik kedua
anaknya yang telah tertidur di kiri kanan Sabda Dewa.
Sabda Dewa tersentak sebuah palu
besar seolah menghantam dadanya. Di bawah pemerintahannya, ternyata masih ada
rakyatnya yang untuk mendapatkan sesuap nasi pun ternyata tidak mampu. Hatinya
seakan tersayat dengan kenyataan yang kini ada di hadapannya. Ia merogoh
kantung kecil di pinggangnya, mengeluarkan beberapa keping uang emas.
“ Ibu ambilah ini,” ucap Sabda Dewa sambil
menyusupkan benda itu kegenggaman wanita setengah baya di hadapannya itu.
“ Maaf nak saya tidak berhak
menerimanya. Apa kata orang kalau saya punya uang sebanyak ini. Mereka pasti
berpikir saya mendapatkannya dengan cara mencuri. Saya tidak mau di anggap
pencuri, maaf...”
“ Tidak usah memikirkan penilaian
orang lain. Pikirkan saja mereka ini, “ ucap Sabda Dewa sambil mengusap rambut
salah satu anak yang tertidur di pangkuannya.
Perempuan itu terlihat bimbang untuk
sesaat.
“ Baiklah untuk mereka...” tangannya
menggenggam kepingan logam yang disusupkan ke tangannya. Air mata perlahan
menetes menyusur pipinya
“ Terimakasih...” ucapnya pendek
namun sarat makna.
***
Sabda Dewa merebahkan tubuhnya. Hatinya pilu, ternyata masih
ada rakyatnya yang butuh perhatian lebih. Namun saat ini ada masalah yang jauh
lebih besar menghadang. Ia mencoba memejamkan mata. Tubuhnya telah lelah, namun
pikirannya tak mau diajak bekerjasama. Berbagai jalan keluar bergantian
bermunculan di benaknya. Sadar tak bisa tidur, Sabda Dewa pun bangkit dari
peraduannya. Saat ia keluar dua orang pengawal nampak masih bersiaga
menjalankan tugas.
“ Paduka...”
Keduanya menjura hormat.
“ Tidak bisa tidur paduka?” salah seorang prajurit
memberanikan diri bertanya.
“ Begitulah. Kalian tugas malam rupanya?”
“ Iya paduka, baru saja kami menggantikan prajurit jaga yang
lain.”
“ Boleh aku meminta bantuan kalian?”
“ Tentu saja paduka, itu sudah tugas kami. Apa yamg bisa
kami lakukan untuk paduka.”
“ Pergilah ke perpustakaan dan tolong bawakan catatan lontar
Strategi Perang sang Penakluk dan juga catatan Keadilan untuk Rakyat.” Titah
Sang maharaja Cakra Buana.
“ Baik paduka. Hamba berdua laksanakan,” keduanya menjura
hormat dan berlalu dari hadapan sang raja. Saat Sabda Dewa berbalik badan untuk
kembali ke ruangan tidurnya, pandangan matanya membentur satu lukisan besar di
ujung lorong. Sabda Dewa mengurungkan niatnya, langkah-langkahnya
mengantarkannya ke hadapan lukisan itu.
“ Apakah aku bisa mempertahankan ini semua?”
Lukisan lambang kerajaan itu penuh makna bagi Sabda Dewa.
Sebuah lingkaran besar dengan empat segitiga di bagian atas, bawah, kiri dan
kanannya. Di bagian lingkaran terpampang gambar padi dan kapas. Lingkaran
melambangkan Cakra Buana secara keseluruhan. Empat segitiga melambangkan
kerajaan-kerajaan kecil; Maganda ,Kalingga, Nishada dan Sinhala. Padi dan kapas
melambangkan kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan utama kerajaan. Inikah saat
keutuhan Kemaharajaannya akan runtuh?
“ Maaf paduka ini catatan yang paduka minta ,” salah satu
prajurit mendekat dan mengangsurkan dua gulungan lontar.
“ Terimakasih prajurit, “ Sabda Dewa berucap .
Dengan bekal dua gulungan lontar itu, ia berharap bisa
mendapat jalan keluar dari masalah yang sekarang dihadapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar