Senin, 02 Desember 2013

Bab 2 Resah Sang Ratu Sinhala


Wanita itu terlihat resah. Dari tempat ia berdiri, ia dapat melihat nyaris seluruh wilayah yang ada dalam genggaman kekuasaannya. Pusat keramaian di tengah kota yang ada di hadapannya dan sebuah pelabuhan besar yang penuh dengan kesibukan, jauh di sisi barat istana. Namun pandangannya kosong, ada satu beban yang kini sedang dirasakannya. Sebuah keputusan besar yang mau tidak mau harus segera ia ambil. Sebuah keputusan yang akan menentukan bagaimana masa depannya kelak.
            Pernikahan!
            Sebagai seorang ratu, keputusan menikah tidak hanya berdampak untuk dirinya sendiri namun juga menentukan masa depan rakyatnya kelak. Dua lelaki mengisi hari-harinya kini, Sabda Dewa dan Gurat Bumi.
            Ia tidak tahu dengan pasti bagaimana perasaan Sabda Dewa terhadap dirinya. Apakah Raja besar itu mencintai dirinya ataukah cintanya selama ini pada lelaki itu hanya bertepuk sebelah tangan? Berbeda dengan Gurat Bumi yang telah dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya.
            Bingung!
            Apakah ia harus memilih lelaki yang ia cintai ataukah harus memilih lelaki yang mencintainya?
            Kalau boleh ia memilih lebih baik ia bertempur menghadapi seribu musuh dibandingkan dengan menghadapi situasi seperti yang ia hadapi sekarang. Tanpa disadari pikirannya terhanyut ke beberapa tahun silam.

***


Satu tangan memegang lembut genggaman tangannya. Detak jantung yang teratur terasa saat satu dada bidang menempel di punggungnya. Sebuah perasaan yang baru kini dirasakannya berkecambuk tak menentu. Ia berusaha menekan perasaannya, namun tak urung getaran-getaran halus tubuhnya tak terkendali.
“ Sekarang arahkan anak panah ini pada sasaran,” satu suara lembut berbisik di telinganya.
Ia hanya bisa mengangguk pelan.
“ Lepaskan...” suara lembut itu kembali menyapa.
“ Wuttt....”
Anak panah itu melaju deras ke sasaran berupa lempengan kayu berbentuk lingkaran.
“ Crapp...”
Menancap, walau tidak tepat berada di tengah sasaran.
Wanita itu mendesah pelan, nyaris tak terdengar. Bukan karena ia tidak bisa tepat membidik sasaran. Namun karena lelaki itu kini bergerak menjauh melepaskan pelukannya. Ia sangat ingin menikmati saat itu lebih lama. Walau tubuhnya bergerak tak terkendali saat laki-laki itu merapatkan tubuhnya.
“ Bagaimana latihan hari ini?” seorang laki-laki bergerak mendekat.
“ Tidak terlalu buruk...” sang laki-laki menjawab. “ Bukan begitu Puspa Andini?”
“ Iya kang mas. Ini juga berkat bantuan kang mas,”
“ Sepertinya begitu. Tadi aku lihat kalian sangat menikmati latihan hari ini. Kemesraan kalian membuatku cemburu.”
“ Ha..ha.. Gurat Bumi ada-ada saja. Kemesraan apa? Aku tadi hanya mengajari Puspa untuk membidik sasaran dengan tepat.”
Sang lelaki menjawab sambil mengambil posisi duduk di atas rerumputan. Tangannya bergerak membetulkan lengkungan busur panah miliknya. Candaan dari Gurat Bumi ternyata berdampak lain pada diri wanita itu. Rona merah menyemburat di kedua pipinya, yang berusaha ia sembunyikan.
“ Aku pergi dulu kang mas. Haus..” ucap Puspa Andini, kedua lelaki itu hanya mengangguk kecil.
“ Kau punya perasaan khusus pada Puspa Andini,” ucap Gurat Bumi serius. Sesaat lirikannya tertuju ke arah perginya wanita cantik itu,’
 Maksudmu?”
“ Sabda Dewa, kau kan bukan anak kecil lagi. Tentu saja kau tahu maksudku. Kau mencintainya?” ucap Gurat Bumi, matanya memandang lurus ke depan. Sejumlah prajurit berlatih pedang jauh di depannya.
“ Cinta...? Cinta pada Puspa Andini.Mmmm...” Sabda Dewa menggantung ucapannya.
“ Jadi...??” Gurat bumi tak bisa menahan perasaannya.
“ Aku dan Puspa sudah berteman sejak kami masih kecil. Kemana-mana bersama. Bermain bersama. Belajar bersama. Susah untuk mengatakan apa yang aku rasakan. Apakah aku jatuh cinta padanya ataukah...”
“ Kalian tentu juga mau minum bukan. Ini aku bawakan juga buat kalian,” satu suara memotong pembicaraan putera mahkota dua kerajaan itu. Puspa Andini mengangsurkan dua bumbung bambu. Sabda Dewa langsung meminum bagiannya, sementara Gurat Bumi hanya menggenggam bumbung bambu yang diangsurkan pada dirinya. Matanya melirik sekilas pada Puspa Andini, saat gadis itu mengambil tempat duduk di sebelah Sabda Dewa.

***

“ Ada apa pamanda?” ucap Puspa Andini saat seorang lelaki tua mendekatinya.
“ Maaf kanjeng ratu, ada hal penting yang ingin hamba sampaikan,” ucap lelaki itu setelah menjura hormat.
“ Apa yang ingin pamanda sampaikan?”
“ Tentang dua kerajaan tetangga kita. Kalingga dan Nishada. Dari desas desus yang beredar, ada kabar dua kerajaan itu akan memberontak terhadap Mandala....” ucap lelaki tua itu.
“ Mmm... apa yang dikhawatirkan Kang Mas Sabda Dewa akhirnya terjadi juga,” Puspa Andini menggumam pelan.
“ Maaf kanjeng ratu?”
“ Tidak pamanda. Pamanda sudah membicarakan dengan para rakhyan?”
“ Hamba tidak berani kanjeng ratu.”
“ Malam ini kumpulkan para rakhyan, kita bicarakan hal ini,” ucap Puspa Andini mengakhiri pembicaraan.

***


Malam belum begitu larut, saat Puspa Andini keluar dari balairung. Perbedaan pendapat tentang sikap para menterinya dalam hal menyikapi pemberontakan dua kerajaan tetangga membuat pembicaraan ditutup tanpa keputusan pasti. Puspa Andini meminta waktu sebelum ia mengambil keputusan.
Saat ia masuk ke peraduannya, naluri keprajuritanya berdentang. Dengan sigap ia membalikkan badan. Satu sosok bergerak menutup pintu.
“ Apa yang kau lakukan kang mas? Tidak sepantasnya kau berada di sini.” Puspa Andini berusaha menekan kemarahannya. Ia berusaha merendahkan suaranya, berjaga jangan sampai suaranya terdengar oleh para pengawal di luar.
“ Rasa rinduku yang mengantarku ke sini...” sosok itu melangkah mendekat.
“ Rindu?”
“ Apa selama ini kau tidak menyadari perasaanku padamu? Atau kau telah menutup pintu hatimu hanya untuk Sabda Dewa yang jelas-jelas hanya menganggapmu sebagai sahabat, tidak lebih”
Sosok itu mengulurkan tangan mencoba menggenggam tangan sang Ratu Sinhala.
Puspa Andini membalikan badan, “ pergilah kang mas”
“ Aku mencintaimu Puspa Andini... Tidak ada wanita lain yang menempati relung hatiku. Hari-hariku senantiasa di isi oleh kerinduan yang begitu dalam. Kerinduan pada dirimu.”
“ Pergilah kang mas. Beri aku waktu untuk berpikir.”
“ Baiklah jika itu yang kau inginkan, purnama depan aku akan kembali. Dan aku harap saat itu kau sudah mempunyai jawaban.” Saat Puspa Andini membalikan badan, tak ada siapapun di hadapannya.
Ada pertanyaan besar yang ingin ia ajukan tadi, tapi kondisinya tidak memungkinkan. Sang Ratu Sinhala hanya bisa mengeluarkan napas pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar