Wanita
itu terlihat resah. Dari tempat ia berdiri, ia dapat melihat nyaris seluruh
wilayah yang ada dalam genggaman kekuasaannya. Pusat keramaian di tengah kota
yang ada di hadapannya dan sebuah pelabuhan besar yang penuh dengan kesibukan,
jauh di sisi barat istana. Namun pandangannya kosong, ada satu beban yang kini
sedang dirasakannya. Sebuah keputusan besar yang mau tidak mau harus segera ia
ambil. Sebuah keputusan yang akan menentukan bagaimana masa depannya kelak.
Pernikahan!
Sebagai seorang ratu, keputusan
menikah tidak hanya berdampak untuk dirinya sendiri namun juga menentukan masa
depan rakyatnya kelak. Dua lelaki mengisi hari-harinya kini, Sabda Dewa dan
Gurat Bumi.
Ia tidak tahu dengan pasti bagaimana
perasaan Sabda Dewa terhadap dirinya. Apakah Raja besar itu mencintai dirinya
ataukah cintanya selama ini pada lelaki itu hanya bertepuk sebelah tangan?
Berbeda dengan Gurat Bumi yang telah dengan terang-terangan telah menyatakan
perasaannya.
Bingung!
Apakah ia harus memilih lelaki yang
ia cintai ataukah harus memilih lelaki yang mencintainya?
Kalau
boleh ia memilih lebih baik ia bertempur menghadapi seribu musuh dibandingkan
dengan menghadapi situasi seperti yang ia hadapi sekarang. Tanpa disadari
pikirannya terhanyut ke beberapa tahun silam.
***
Satu tangan memegang lembut genggaman tangannya. Detak
jantung yang teratur terasa saat satu dada bidang menempel di punggungnya.
Sebuah perasaan yang baru kini dirasakannya berkecambuk tak menentu. Ia
berusaha menekan perasaannya, namun tak urung getaran-getaran halus tubuhnya
tak terkendali.
“ Sekarang arahkan anak panah ini pada sasaran,” satu suara
lembut berbisik di telinganya.
Ia hanya bisa mengangguk pelan.
“ Lepaskan...” suara lembut itu kembali menyapa.
“ Wuttt....”
Anak panah itu melaju deras ke sasaran berupa lempengan kayu
berbentuk lingkaran.
“ Crapp...”
Menancap, walau tidak tepat berada di tengah sasaran.
Wanita itu mendesah pelan, nyaris tak terdengar. Bukan
karena ia tidak bisa tepat membidik sasaran. Namun karena lelaki itu kini
bergerak menjauh melepaskan pelukannya. Ia sangat ingin menikmati saat itu
lebih lama. Walau tubuhnya bergerak tak terkendali saat laki-laki itu
merapatkan tubuhnya.
“ Bagaimana latihan hari ini?” seorang laki-laki bergerak
mendekat.
“ Tidak terlalu buruk...” sang laki-laki menjawab. “ Bukan
begitu Puspa Andini?”
“ Iya kang mas. Ini juga berkat bantuan kang mas,”
“ Sepertinya begitu. Tadi aku lihat kalian sangat menikmati
latihan hari ini. Kemesraan kalian membuatku cemburu.”
“ Ha..ha.. Gurat Bumi ada-ada saja. Kemesraan apa? Aku tadi
hanya mengajari Puspa untuk membidik sasaran dengan tepat.”
Sang lelaki menjawab sambil mengambil posisi duduk di atas
rerumputan. Tangannya bergerak membetulkan lengkungan busur panah miliknya. Candaan
dari Gurat Bumi ternyata berdampak lain pada diri wanita itu. Rona merah
menyemburat di kedua pipinya, yang berusaha ia sembunyikan.
“ Aku pergi dulu kang mas. Haus..” ucap Puspa Andini, kedua
lelaki itu hanya mengangguk kecil.
“ Kau punya perasaan khusus pada Puspa Andini,” ucap Gurat
Bumi serius. Sesaat lirikannya tertuju ke arah perginya wanita cantik itu,’
“ Maksudmu?”
“ Sabda Dewa, kau kan bukan anak kecil lagi. Tentu saja kau
tahu maksudku. Kau mencintainya?” ucap Gurat Bumi, matanya memandang lurus ke depan.
Sejumlah prajurit berlatih pedang jauh di depannya.
“ Cinta...? Cinta pada Puspa Andini.Mmmm...” Sabda Dewa
menggantung ucapannya.
“ Jadi...??” Gurat bumi tak bisa menahan perasaannya.
“ Aku dan Puspa sudah berteman sejak kami masih kecil.
Kemana-mana bersama. Bermain bersama. Belajar bersama. Susah untuk mengatakan
apa yang aku rasakan. Apakah aku jatuh cinta padanya ataukah...”
“ Kalian tentu juga mau minum bukan. Ini aku bawakan juga
buat kalian,” satu suara memotong pembicaraan putera mahkota dua kerajaan itu.
Puspa Andini mengangsurkan dua bumbung bambu. Sabda Dewa langsung meminum
bagiannya, sementara Gurat Bumi hanya menggenggam bumbung bambu yang
diangsurkan pada dirinya. Matanya melirik sekilas pada Puspa Andini, saat gadis
itu mengambil tempat duduk di sebelah Sabda Dewa.
***
“ Ada apa pamanda?” ucap Puspa Andini saat seorang lelaki
tua mendekatinya.
“ Maaf kanjeng ratu, ada hal penting yang ingin hamba
sampaikan,” ucap lelaki itu setelah menjura hormat.
“ Apa yang ingin pamanda sampaikan?”
“ Tentang dua kerajaan tetangga kita. Kalingga dan Nishada.
Dari desas desus yang beredar, ada kabar dua kerajaan itu akan memberontak terhadap
Mandala....” ucap lelaki tua itu.
“ Mmm... apa yang dikhawatirkan Kang Mas Sabda Dewa akhirnya
terjadi juga,” Puspa Andini menggumam pelan.
“ Maaf kanjeng ratu?”
“ Tidak pamanda. Pamanda sudah membicarakan dengan para
rakhyan?”
“ Hamba tidak berani kanjeng ratu.”
“ Malam ini kumpulkan para rakhyan, kita bicarakan hal ini,”
ucap Puspa Andini mengakhiri pembicaraan.
***
Malam belum begitu larut, saat Puspa Andini keluar dari
balairung. Perbedaan pendapat tentang sikap para menterinya dalam hal menyikapi
pemberontakan dua kerajaan tetangga membuat pembicaraan ditutup tanpa keputusan
pasti. Puspa Andini meminta waktu sebelum ia mengambil keputusan.
Saat ia masuk ke peraduannya, naluri keprajuritanya
berdentang. Dengan sigap ia membalikkan badan. Satu sosok bergerak menutup
pintu.
“ Apa yang kau lakukan kang mas? Tidak sepantasnya kau
berada di sini.” Puspa Andini berusaha menekan kemarahannya. Ia berusaha
merendahkan suaranya, berjaga jangan sampai suaranya terdengar oleh para
pengawal di luar.
“ Rasa rinduku yang mengantarku ke sini...” sosok itu
melangkah mendekat.
“ Rindu?”
“ Apa selama ini kau tidak menyadari perasaanku padamu? Atau
kau telah menutup pintu hatimu hanya untuk Sabda Dewa yang jelas-jelas hanya
menganggapmu sebagai sahabat, tidak lebih”
Sosok itu mengulurkan tangan mencoba menggenggam tangan sang
Ratu Sinhala.
Puspa Andini membalikan badan, “ pergilah kang mas”
“ Aku mencintaimu Puspa Andini... Tidak ada wanita lain yang
menempati relung hatiku. Hari-hariku senantiasa di isi oleh kerinduan yang
begitu dalam. Kerinduan pada dirimu.”
“ Pergilah kang mas. Beri aku waktu untuk berpikir.”
“ Baiklah jika itu yang kau inginkan, purnama depan aku akan
kembali. Dan aku harap saat itu kau sudah mempunyai jawaban.” Saat Puspa Andini
membalikan badan, tak ada siapapun di hadapannya.
Ada pertanyaan besar yang ingin ia ajukan tadi, tapi
kondisinya tidak memungkinkan. Sang Ratu Sinhala hanya bisa mengeluarkan napas
pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar